11

6K 214 1
                                    

Aku dan Galih dapat cuti selama 1 minggu untuk berbulan madu.

Dan hari-hari itu sangat membosankan karena kami tidak seperti seorang pengantin pada umumnya yang selalu mengumbar kemesraan dimana-mana.

Biasanya hanya duduk saja di kamar memandang pemandangan luas. Sesekali keluar hanya untuk makan atau sekedar menghirup udara segar, seusai itu semua, kami kembali begitu saja ke kamar.

            Hari ini aku sungguh sudah sangat bosan dan akhirnya aku putuskan untuk masuk kerja saja.

“Galih, aku ingin masuk kerja sekarang. Aku juga ingin merampungkan novelku yang datanya aku simpan di computer kantor”, hanya alasan saja agar Galih tidak tersinggung kalau sebenarnya aku sangat bosan di kamar hotel itu.

Padahal hari ini baru hari ke empat pernikahanku sedangkan cutiku 1 minggu.

“Silahkan. Kalau begitu, aku juga ke kantor saja. Aku bosan di kamar terus beberapa hari ini”, kata Galih agak sedikit menyambung.

Aku merasa bersalah jadinya, tapi apa dayaku? Akupun bersiap berangkat ke kantor.

“Dien, mau berangkat bareng?”, Tanya Galih saat aku sudah bersipa berangkat.

Aku tak langsung menjawabnya, namun kupikir-pikir lagi.

Dan memang sebaiknya aku terima penawaran Galih karena aku tidak mau satu orangpun curiga atas apa yang terjadi padaku.

            Aku mengangguk mengiyakan ajakan Galih dan Galih terlebih dahulu mengantarku sebelum dia harus segera ke kantor juga.

Galih bekerja di perusahaan Papanya. Dia adalah anak tunggal, jadi sudah pasti Papanya sangat berharap Galih akan melanjutkan perusahaannya.

            Mobil BMW yang kutumpangi melaju dengan cepat tanpa tersadar aku sudah sampai di depan kantorku.

Aku bergegas membuka pintu, tapi langkahku terhenti ketika aku teringat sosok laki-laki disampingku yang tak lain adalah suamiku sendiri..

“Galih? Ada yang tertinggal?”, Tanya Galih melihatku tertegun saat akan membuka pintu.

“Oh,, Tidak ada Lih. Aku masuk kantor dulu. Assalamu’alaikum”, jawabku menoleh pada Galih dengan melontarkan sedikit senyumanku.

Sepantasnya aku berpamitan dulu padanya dan seharusnya aku mencium tangannya sebelum keluar, tapi kuurungkan niatku untuk mencium tangannya karena seketika itu bayangan Fajar terlintas.

“Wa’alaikumsalam. Dien tunggu”, kata Galih memegang tanganku.

Entah ada apa lagi?

Galih menatapku seolah ada yang ingin dia katakan. Mungkinkah dia akan mencium keningku seperti halnya suami istri yang akan berangkat kerja?

“Oh iya, nanti sore kita pindah ke rumah kita yang baru. Aku sudah menemukan rumah beberapa hari yang lalu, jadi kita bisa berkemas sepulang kantor nanti”, kata Galih gugup seolah bukan itulah sebenarnya yang akan dia lakukan.

Aku hanya mengangguk tersenyum dengan melepas tanganku pelan dari genggaman Galih. Aku bergegas masuk kantor dan kulihat pula dari dalam kantor dia tak segera pergi sebelum aku sudah benar-benar tak terlihat lagi.







***





            Jam sudah menunjuk jam 12.00 siang. Sudah waktunya aku pulang.

Sebelum pulang aku mampir ke masjid dekat kantor dimana aku selalu sholat duhur disana dan dengan Fajar. Kebetulan tadi aku menolak saat Galih menawarkan diri untuk menjemputku.

Demi MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang