Chapter 1

7 1 1
                                    

Hitam legam sorot tak jauh
Nanar lensa memantulkan objek
Berkecamuk acuh
Hirau diseberang
Ia tetap diam
Tak bergeming
Hanya menatap
Sementara yang ditatap,
Gagal mendapat cahaya yang cukup
Yasudahlah.

"Waroeng Jadoel"
Apa yang terbesit dibenakmu ketika membaca tulisan tersebut?
Bukan! Ini bukan warung tepi jalan yang dipenuhi sopir-sopir angkot maupun para buruh.
Hanya namanya seperti yanh tertera di atas, namun waktunya berada di abad 21.
Tempat dimana para penerus bangsa menikmati kenyamanan tanpa perang dan berita buruk.
Yang terlihat saat ini hanya bujangan muda, tak menjamin janda, duda, berkeluarga tak mampir.

Tempat ini didominasi warna coklat, mulai coklat muda hingga coklat tua.
Pernak-perniknya pun berorientasi jaman dulu.
Mobil mainan bak mobil bangsawan belanda yang anggun dengan 2 pintunya.
Lampu gantung dilingkupi besi bak lampu berpayung di sawah dulu.
Meja dan kursi melingkar seperti jamannya Soekarno-Hatta rapat di terasnya.
Meja dan kursi tersebut tampak kokoh entah dari kayu apa yang setelah dilapisi pernis bak emas lama yang baru disepuh.
Tapi sayang hanya 2 meja yang terisi, dari sekian banyak meja tersebar.
Keduanya terletak di sudut, yang jika ditarik garis lurus dari meja 1 ke meja ke 2 akan menjadi diagonal dari ruang tersebut.

Berlawanan jenis dalam 2 meja. Berkecimpung dalam jenis yang sama dilingkaran masing-masing sudut.

Gadis-gadis yang baru setahun menjalani bangku perkuliahan dengan 2 gadis sibuk membahas hasrat duniawinya yang jelas menguras kantong layaknya bandit. Rara (tinggi, putih, berambut panjang, normal) & Gia (pendek, imut, rambut bob, kacamata bulat bak harry potter).
Sendiri ia menikmati setiap potong kenikmatan bulatan daging yang dibakar dan dilumuri bumbu pedas khas lidah orang indonesia. Asya (tidak pendek tidak tinggi, kulit sawo matang, rambut sepinggang, cerewet, berkacamata ala-ala urban(matanya minus 200)).
Bukan mereka berseteru, diantara makanan dan pakaian/tas/sepatu/dll, Asya akan memilih makanan dengan senang hati. Lebih ikhlas lagi pada es serut, jika ada. Di satu sudut hanya mereka.

Di diagonal ujung, tampak 4 lelaki menyesap tembakau berselimut dengan sangat nikmat, sembari mengenang masa yang mereka lalui.
Masa yang mereka lalui berlima.

Gempal dan tidak terlalu tinggi, Iyan.
Atletis, tegap, perawakan bule, Dimas.
Tampang lokal, lebih pendek dari Dimas, suka mengenakan celana pendek selutut dan baju kaos, Raka.
Yang terkahir, perawakan bule tapi nyatanya lokal, tampang bule tapi asli indonesia, versi Indonesia Lucky Blue Smith, jawline tajam, namun bermata lembut, Axel.
Umur mereka berpautan, kisaran 22-24 tahun.

Tak lama gadis-gadis di sudut mulai tertawa cekikikan menghasilkan riuh yang tak mungkin untuk tak dihiraukan. Sekejap ia melihat, menatap, dan matanya kian berkedip lambat seolah waktu menjadi bagian dari suasana itu. Tipis dan perlahan semakin lebar hingga gigi-giginya tak tertutupi lagi, ia menikmati setiap geraknya. Tanpa sadar ia ikut menarik bibirnya keatas. Sampai akhirnya waktu bergerak kembali diganggu aroma kopi yang dipesannya. Caramel macchiato.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 23, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FATAMORGANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang