Part 10

1.8K 351 20
                                    

"Di, kenalin gue sama itu cewek ya." Wira masih mengejar Hadi  kemanapun pergi. Sampai ke kamar mandi ia menunggu di depan pintu. Hadi sedang mencuci tangannya yang kotor karena oli. "Hadi, lo sohib gue kan?" Hadi meliriknya malas. "Kenapa lo gitu sih sama gue. Mungkin cewek itu labuhan cinta gue yang terakhir. Lo bakal bahagia kalau lo bikin orang seneng."

"Gue bahagia kalau gue sendiri yang nikah. Lo udah dua kali, apa nggak cape lo!"

"Cape di atas ranjang aja gue ketagihan," ucapnya cengengesan.

"Dasar gila!"

"Hadi yang ganteng, please..." ucapnya memelas.

"Iya!" Hadi akhirnya menyetujui untuk mengenalkan sahabatnya itu pada Risa.

"Sipp,, kalau gitu. Lo emang sahabat gue nomor wahid!" ucapnya sembari mengacungkan jempolnya. "Oia, persiapan bengkel gimana?"

"Barang-barangnya udah komplit, tinggal ngerapihin aja. Lo udah bayarkan?"

"Ya udahlah, lo kira gue bakal kabur. Kemarin gue udah nyuruh sekertaris gue buat bayar." Hadi duduk di kursi. Pekerjaannya sudah selesai. Hari terakhirnya di bengkel tersebut. Ia sudah mengundurkan diri pada Bossnya. Di bengkel baru Hadi akan memulainya dari nol. Ia harus merekut orang untuk menjadi anak buahnya.

"Enak ya yang punya sekertaris cuma tinggal perintah ini-itu aja. Gimana sama proyek lo?"

"Lancar." Wira adalah seorang kontraktor. Usianya 32 tahun sama dengan Hadi hanya beda bulan saja.

"Syukur deh,"

***

Larisa memandangi kakaknya yang sedang melamun. Setibanya di rumah ada yang aneh dengan Hadi. Makan malam pun kakaknya lebih banyak diam. Seperti sedang ada masalah. Insting deketifnya muncul. Ia akan mengintrogasi kakaknya.

"Kak," tidak ada sahutan. Hadi sibuk mengaduk makanan dengan sendok. "KAK HADI!" panggilnya dengan nada meninggi membuat Hadi tersentak.

"Kamu kalau manggil pelan-pelan, Riri!" omel Hadi.

"Si kakak yang dari tadi ngelamun aja. Dipanggil-panggil bukan nyaut malah bengong. Itu makanan aku nggak enak bukan?" tanya Larisa sembari memincingkan matanya.

"Enak kok,"

"Tapi nggak dimakan!"

"Kakak lagi nggak enak badan," ucapnya. Padahal hatinya merasakan sesuatu yang aneh. Dari pulang bekerja dirinya seakan tidak fokus. Ia pun dibuat bingung sendiri.

"Masuk angin?"

"Nggak tau kayaknya gitu."

"Ya udah abis makan aku kerikin ya," Hadi hanya mengangguk.  Mereka melanjutkan makan malamnya. Mereka duduk di ruang tv beralaskan karpet. Kening Larisa mengerut kata Hadi sedang tidak enak badan. Tapi kenapa punggungnya tidak merah hanya warna pink saja. "Kak, kok nggak merah ya?"

"Masa?" Hadi menengok ke belakang.

"Iya," Larisa masih mengerik.

"Kalau nggak merah, jangan dikerik."

"Nggak jadi?"

"Iya,"

"Ya udah," lagian tanganku pegel, sambung Larisa dalam hati. "Lagi ada pikiran bukan, kak?. Bengkel baru gimana?"

"Besok mau ngerapihin bengkel baru. Mungkin kepikiran itu kali, ya. Takut gimana bengkel itu kedepannya"

"Jangan terlalu mikirin, kak. Rezeki itu udah di atur sama Allah. Kakak cukup ikhtiar dan berdoa. Selebihnya serahin kepada Allah yang lebih tau apa yang terbaik buat kita. Kalau masalah laku atau nggak itu lumrah dalam berbisnis. Awalnya memang berat tapi kalau bersabar pasti ada hasilnya." Hadi mengerjapkan matanya. Apa benar yang bicara itu adiknya?.

Tentang Kita (GOOGLE PLAY BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang