4 - Hate

3.6K 234 14
                                    

"Kenapa Anda ke mari?" Hinata mendengus meratapi kedatangan Naruto yang seperti jalangkung. Datang tak diundang, pulang tak diantar.

"Hinata, kau baik-baik saja?" Naruto memegang kedua pipi Hinata dengan telapak tangannya. Memastikan keadaan Hinata.

"Apa Anda sudah buta? Jelas saya baik-baik saja." Hinata menepis kedua tangan Naruto.

Toneri mendengar suara Hinata yang seperti gertakan. Dia menuju teras rumahnya. "Ada apa, Hinata?"

"Suamiku, entah dari mana, dia tiba-tiba muncul. Kau saja yang meladeninya." Hinata pikir; lebih baik tidak bertemu dengan Naruto. Dia memilih ke ruang keluarga, bermain bersama anak kesayangannya, Mitsuki. Just seeing your hair and eyes hurts my heart, umpatnya.

"Namikaze, masuklah." Toneri mempersilakan Naruto masuk. Mereka duduk di sofa ungu tua.

"Toneri, apa yang kau lakukan pada Hinata? Kenapa dia bisa menjadi istrimu?" Tanpa basa-basi biasa, Naruto menyemburkan pertanyaan pada Toneri.

"Tenanglah, Namikaze. Ini bukan seperti yang kau bayakangkan. Ekspektasi tak sesuai realita." Toneri menghembuskan napas kasar.

"Memangnya kau tahu apa yang kubayangkan?" Naruto merengutkan wajahnya.

"Hinata, bawakan teh untuk kami," teriak Toneri. Dia melanjutkan pembicaraannya dengan Naruto. "Tidak. Jikalau kau ingin mengetahui, bertanyalah satu-persatu."

Naruto menimbang-nimbang apa yang ingin dia tanyakan. Memakan waktu lima menit lamanya. Naruto menarik napas dalam-dalam. "Apa yang terjadi setelah aku pergi?"

"Pada siapa? Aku atau Hinata?" Tunjuknya pada Hinata yang meletakkan dua cangkir teh.

"Jelas Hinata. Untuk apa aku menanyakan dirimu?" Naruto mengepalkan tangannya. Dia tujukan beberapa senti di depan wajah tampan Toneri.

"Dasar tidak sopan," gerutu Hinata, lalu dia pergi dari ruang tamu yang mencekam.

"Aku sudah terlihat buruk di hadapan Hinata. Apa yang terjadi?" tanya Naruto ulang.

"Aku dan Hinata mencari informasi kenapa kau pergi. Kami bertanya keluargamu. Yang paling tahu, adikmu sendiri, Shion. Ternyata, kau pergi bersama Sakura dan bayinya. Sungguh malang Hinata sayangku." Ada nada godaan untuk menaikkan amarah Naruto. Toneri sengaja tidak memberitahu kecelakaan itu, dia tak ingin teringat lagi.

"Sayang?"

"Apa ada yang salah? Dia istriku." Toneri terkekeh, dia terhibur dengan ekspresi marah Naruto yang menurutnya aneh.

"Apa yang terjadi setelah Hinata mengetahui aku pergi bersama Sakura?" Naruto amat ingin tahu apa reaksi Hinata.

"Hinata hendak bunuh diri," bisik Toneri seraya meletakkan tangan kanannya di depan mulut.

"Apa?"

"Untung saja ada diriku ini. Aku menuntunnya ke jalan yang benar. Karena dia hendak bunuh diri di rel, aku menariknya di jalan raya. Lalu menyuruhnya bunuh diri di situ saja. Tempat ketika berguling, lebih nikmat di aspal daripada bebatuan dan besi," kata Toneri dengan santainya. Dia menyeruput teh melati buatan Hinata.

"Jangan bercanda!" bentak Naruto.

"Aku memang benar. Dia benar ingin bunuh diri. Sebagai teman, aku menyelamatkannya."

"Lalu?"

"Dia dalam masa yang tidak baik selama beberapa hari. Dia tak terima selama ini dia hanya menjaga jodoh orang lain."

"Maksudnya menjaga jodoh orang?"

"Hinata mengira kau dan Sakura menikah di sana. Diperkuat dengan Sakura yang hamil saat itu."

"Kenapa kau bisa menikah dengannya? Bukankah kau tahu dia masih berstatus menjadi kekasihku?"

"Salah siapa kau pergi?"

"Salah Sakura."

"Kenapa kau menyalahkan orang lain? Bukankah kau yang menyetujui untuk pergi?"

"Benar juga. Otakku sedang tidak tersambung." Naruto menepuk dahi menyadari kebodohannya.

"Aku akan menceritakan bagaimana aku bisa menikah dengan Hinata. Pada zaman dahulu, hiduplah seorang monyet yang sera-"

"Aku ingin tahu kenapa kau bisa menikah dengan Hinata. Bukan dongeng yang kau ceritakan pada anakmu." Napasnya sudah tidak beraturan. Otsutsuki ini hawanya ingin bercanda saja.

"Baiklah." Toneri mulai menceritakan awal mula pernikahannya.

Tok tok tok

Toneri terus menerus mengetuk pintu. Tak menghiraukan sudah ke-berkian kalinya.

"Hinata, kumohon buka pintunya. Aku Toneri." Pantang menyerah, Toneri mengetuk pintu kamar salah satu putri Hyuuga itu.

Cklek

"Masuk," kata Hinata yang terlihat seperti mayat hidup. Raga ada, jiwa tak ada.

"Hinata, turunlah. Keluargamu khawatir." Toneri menggendong Hinata turun. Hinata pun tidak menolak. Dia sudah tak memiliki tenaga lagi untuk menolak.

Di ruang tamu, keluarga Hyuuga dan Otsutsuki sedang berbincang hal serius. Sampai, Kedatangan Toneri dan Hinata menghentikan percakapan itu.

"Ibu akan mengurus Hinata sebentar." Hikari bangkit, lalu menggandeng Hinata untuk membersihkan dirinya yang berantakan.

Setelah beberapa menit berlalu, Hinata muncul dengan gaun putih polos. Rambutnya juga sudah rapi dan terkepang, tidak seperti tadi yang mirip permen kapas.

"Hinata, aku ingin mengajukan perjodohan untukmu dan Toneri. Selama ini, yang paling akrab dengannya hanya dirimu." Tawaran sang Ayah Toneri cukup mengejutkan.

"Kami juga sedang mengembangkan kerjasama dalam banyak proyek. Jika Hyuuga dan Otsutsuki mengikat persaudaraan dengan cara seperti ini, proyek kami akan semakin lancar. Ayah tidak memaksa, tapi apakah Hinata setuju?" tanya Ayah Hinata, Hiashi, memperjelas semua.

"Maaf, tapi Hinata memiliki ke-"

"Jika itu membuat Ayah bahagia, Hinata setuju." Hinata memotong kalimat Toneri. Dia sudah tidak mau berurusan lagi dengan Naruto.

"Kalian sudah dewasa. Ingin langsung menikah atau pertunangan?" tanya Ayah Toneri untuk memastikan kelancaran perjodohan ini.

"Tunggu dulu, tapi Hinata itu mempu-"

"Pernikahan saja. Aku tidak mau hal yang rumit seperti pertunangan. Sangat memperlambat semuanya." Hinata memotong lagi ucapan Toneri. Dia sudah berpikir; aku tidak punya kekasih. Aku pasti lebih bahagia bersama yang lain.

"Baiklah. Kami akan mempersiapkan semuanya."

"Akhirnya, aku dan Hinata menikah. Lalu, hidup bahagia seperti kisah di disneyland." Toneri membasahi tenggorokannya dengan teh lagi. Cukup lelah bercerita.

"Bahagia itu dirimu. Aku yang menderita." Naruto ikut meminum tehnya setelah dongeng panjang ala Toneri.

"Kalau begitu, kau tidak usah datang untuk mengusik kehidupan kami." Toneri mengibaskan tangannya berulang kali. Mengusir Naruto.

"Mitsuki, dia anakmu?"

"Dia memang anakku. Ada masalah?"

.

Tbc

NB : Makin abstrak nih cerita. Yuk baca ceritaku; Strange, Slyph-oneshoot-, jangan lupa ya, kawan-kawan. Silakan komen yang cerewet, dan vote kalau berkenan.
Selamat berbuka puasa. Selamat menjalankan ibadah puasa. Selamat jalan mantan. Ups...

Scat © -05/27/2017-

[2] ScatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang