Bonus Chapter 3

3.1K 149 13
                                    

"Cheer up baby ... cheer up baby ... nanana." Naruto menyanyikan lirik yang dimengertinya saja. Salahkan dia yang tidak bisa bahasa Korea. Walau rekan bisnis kebanyakan dari negeri gingseng, dia lebih nyaman menggunakan bahasa Inggris.

"Aku ganti saja lagunya. Kurang seru. Mungkin ini lebih baik." Naruto menekan tombol next pada layar smartphone Hinata. Dia menyanyi lagu lain. "Uri eomma ... nanana ... sarangeun bujangan ... uri sarangeun bujangan ...."

"Sayang, bukan bujangan, tapi buljangnan," ingat Hinata. Berbeda dengan Naruto, Hinata begitu jatuh cinta pada Korea. Dia bahkan masih menempel poster BaekHyun Exo di kamarnya.

Naruto cengar-cengir ria. "Maaf. Aku tidak paham bahasa Korea, Sayang."

"Tidak masalah. Kau tidak paham pun, aku tetap mencintaimu." Hinata mencium sekilas pipi bergurat itu.

Naruto menunjuk pipi kanannya, lalu berkeinginan. "Satu lagi."

"Ibu," teriak Boruto dari ruang tamu.

Naruto merengut dan mengumpat. "Dasar pengganggu!"

"Iya, Boru. Ibu akan turun." Hinata meninggalkan Naruto seorang diri di kamar. Ditemani lantunan lagu Yaksok.

.

Boruto mengulas senyum seharian. Setelah hari pertama masuk SMA, dia menjadi terlalu bahagia. Dia juga memeluk Hinata terlalu sering. Menimbulkan kecemburuan dari ayahnya sendiri.

"Lepaskan Ibumu, Boruto." Naruto menarik tubuh Boruto agar menjauh dari Hinata.

Hinata malah menepuk tangan-tangan jahil Naruto. "Biarkan saja. Boru sedang kasmaran."

"Ibu, bagaimana rasanya cinta?" Boruto memeluk Hinata dari samping supaya tidak mengganggu kegiatannya merajut.

Hinata menimang jawaban. "Cinta itu ..., Ibu tidak tahu. Tanya ayahmu."

Boruto beralih memeluk Naruto yang bersantai di sofa. "Apa itu cinta, Ayah?"

"Cinta? Apa ya ... Ayah tidak tahu. Tanya ibumu." Jawaban yang sama dari orang yang berbeda. Tanya sana, tanya sini. Boruto pening ketika fakta berputar-putar.

Boruto menempel pada Mitsuki yang sedang berbalas chat dengan Sarada. "Kak, cinta?" Cukup satu kata saja jika bertanya pada Mitsuki. Dia langsung menangkap maksud Boruto.

"Cinta itu ketika melihat orang yang kau cintai mencintai orang lain yang mencintaimu," jawab Mitsuki berbelit-belit.

Boruto membantah. "Bukankah itu cinta segitiga? Dan juga, kupikir gay setelah mencerna perkataanmu."

"Itu kau tahu. Kenapa bertanya?" Mitsuki cuek kembali pada adik pertamanya. Jika sudah bermesraan lewat obrolan, dia acuh pada keadaan sekitar.

Boruto melirik adiknya, Himawari, yang berguling di karpet. Dia tidak yakin bertanya pada Himawari yang kodratnya masih siswi SMP. Apa dia tahu cinta? batinnya. "Hima, apakah yang dimaksud cinta."

Himawari berjenggit mendengar pertanyaan Boruto. Dia tidak menyangka, kakak bodohnya itu mengetahui kata cinta. "Cinta itu ketika jantungmu tidak berhenti maraton di dekat orang yang kau cintai. Juga, perasaan seakan sebuah pisau menusuk dadamu ketika dia berbahagia dengan orang lain," jelas Himawari panjang lebar, tinggi pula.

Boruto menganga. Adiknya pantas dijadikan guru. "Bimbing aku ke jalan yang benar, Master Hima."

"Tentu, kita buat jadwal konsultasi mengenai ini." Himawari setuju, dia riang mengingat ada teman sekaligus kakak yang sama-sama sedang jatuh cinta.

"Aku menyayangimu, Adikku Sayang." Boruto memeluk Himawari, lantas mencubit pipinya.

"Aku juga, Kakakku Tercinta."

Dan jadilah, pesta antara adik dan kakak yang lagi kasmaran. Karena terlalu bahagia, mereka rela menggantikan tugas sang ibu mengurus rumah. Hinata pun tertular bahagia karena dia tinggal memasak tanpa memikirkan kebersihan rumah.

.

200 hari kemudian ...

Seperti hari-hari lalu, pasangan yang satu ini selalu bermesraan tidak kenal tempat dan waktu. Boruto bersyukur keluarganya rukun walau kadang diiringi pertengkaran karena hal sepele. Dia juga bersyukur, perjuangannya selama berbulan-bulan akhirnya membuahkan hasil. Benar kata ayahnya, hasil tidak akan mengkhianati usaha.

"Sayang, ayo main itu lagi," ajak Naru.

Hinata menggeleng. "Aku lelah."

"Ayolah," bujuk Naruto.

"Aku kesulitan melawan zombie itu, Sayang. Ini seperti tidak berfungsi baik." Hinata menyalahkan stik pengontrol PS.

Naruto menukar benda itu. "Gunakan milikku. Ayo bermain lagi."

"Baiklah, ayo." Hinata bersemangat setelah suaminya mengalah.

"Ibu," teriak Boruto dari ruang tamu. Lagi (?).

"Ibu akan turun, Boru." Hinata meninggalkan Naruto bersama zombie yang mulai melahap pemainnya.

"Ibu, lihat siapa yang kubawa." Boruto menyembunyikan tubuh di balik punggungnya.

"Siapa?"

"Hai, Bibi," sapa Iwabe dan Denki bebarengan. Mereka sudah bersahabat sejak SMP, jadi Hinata sudah paham kebersamaan mereka.

"Lama tidak berjumpa, Anak Tiriku." Hinata melengkungkan garis bibirnya.

"Ibu, bukan hanya mereka yang kubawa, tapi calon mena ...," ucapan Boruto terpotong cubitan si pinggang. "Aduh, sakit."

Dari balik punggung jangkung Boruto, muncullah sosok gadis manis. Bersurai dan bermanik ungu. "Selamat sore, Bibi."

"Selamat sore juga, gadis yang membuat Boruto begitu ekspresif di rumah ketika pendekatan denganmu." Hinata menuntun gadis itu, Sumire, untuk duduk aman dan nyaman di sofa. "Kalian juga duduk," perintahnya pada Iwabe dan Denki.

"Ibu mengobrol saja dengan Sumire. Aku dan mereka akan main PS di ruang keluarga," kata Boruto, "Ayah mau gabung tidak?"

"Ayah ikut," sahut Naruto dari arah dapur. Dia menuju ke ruang keluarga bersama minuman soda, lalu bergabung bermain PS bersama mereka bertiga.

Beralih ke percakapan Hinata dan Sumire. "Sejak kapan Boruto berhasil meluluhkan hatimu?"

"Sudah sedari lama, Bibi. Sekitar awal masuk sekolah," jawab Sumire tidak yakin. Namun, dia memprediksi seperti itu.

Hinata mengangguk-angguk. Dia menawari sesuatu. "Ajaklah orang tuamu kemari untuk makan malam bersama atau bisa saja kami yang ke sana."

Sumire tertawa canggung. "Maaf, Bibi. Saya tidak memiliki orang tua."

Hinata terbelalak. "Maaf, Bibi tidak tahu. Ah, jangan menggunakan kata saya, gunakanlah aku saja agar lebih akrab."

"Tidak apa-apa, Bibi. Baiklah jika Bibi menginginkan seperti itu."

Berlanjutlah obrolan antara Hinata dan calon menantunya sampai bulan sudah menyinarkan cahaya. Memang, perempuan tidak ada lelahnya jika bicara.

"Sumire, menginaplah di sini. Tidurlah di kamar Himawari, lagipula besok libur." Boruto muncul bersama Himawari di belakangnya.

"Oh, jadi ini Kak Sumire. Cantik sekali." Himawari berbinar melihat Sumire.

"Terima kasih, Himawari. Aku akan merepotkan jika menginap," tolak Sumire.

"Tidak, menginaplah," bantah Hinata.

"Iwabe dan Denki sudah pulang sejam yang lalu. Mereka tidak akan tahu kau menginap di sini." Boruto tidak menyerah membujuk kekasihnya.

"Baiklah. Aku akan menginap. Maaf merepotkan."

.

[2] ScatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang