Suara logam dan besi yang saling bergesekkan menjadi satu-satunya hal yang memenuhi rungu. Dan hal yang pertama kali tertangkap ketika dirinya membuka mata adalah kegelapan total. Tanpa cahaya sedikit pun. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali berusaha menilik ke sekeliling, mencari tahu dimana ia berada dan tempat apa ini –meskipun hanya kegelapan yang didapat. Kecemasan melanda, rasa khawatir dan panik terus menggerogoti tiada ampun. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan. Berdesakkan menuntut untuk segera terjawab.
"Dimana aku?"
Sebuah goncangan yang cukup keras membuatnya terpelanting ke belakang. Dinginnya besi bersinggungan langsung dengan permukaan kulit. Tangannya terangkat dengan ragu-ragu menyentuh pelipisnya yang beradu dengan besi cukup keras; bahkan ia baru sadar jika dirinya berkeringat dingin. Ia masih celingukan ke sana ke mari, belum juga mendapat ide soal tempat yang ia pijak. Yang ia tahu, tempat ini bergerak naik seperti sebuah lift.
Sekali lagi tempat ini bergoncang –tidak sekeras sebelumnya. Lebih pelan namun cukup untuk membuatnya kembali jatuh duduk. Setelahnya yang ia dapati hanyalah keheningan; hanya suara napasnya yang terdengar tidak teratur. Kini ketakutan kembali menghampirinya, memerintahkan jantungnya untuk memompa lebih cepat yang rasa-rasanya seperti akan loncat keluar kapan saja. Ia memasang mode siaga sambil menerka-terka hal apa yang akan menghampirinya kali ini. Namun beberapa menit kemudian suara ribut-ribut di atas menarik perhatiannya bersamaan dengan cahaya yang perlahan-lahan masuk memenuhi ruangan sempit yang ia pijak.
Matanya menyipit, salah satu tangannya terangkat guna menghalau sinar yang begitu menusuk matanya hingga membuatnya cukup pening. Ia tidak tahu apa pun yang berada di atas sana. Ia tidak bisa melihatnya, matanya masih belum bisa beradaptasi setelah bergelut di kegelapan untuk waktu yang terbilang lama. Entah se-jam? Dua jam? Sepuluh jam atau seharian? Ia tidak ingat. Ia bahkan tidak tahu bagaimana dirinya bisa berakhir di tempat asing ini.
"Wow, seorang gadis."
"Berapa umurnya?"
"Ia tampak menyedihkan, mirip babi peliharaanmu."
"Kau yang mirip babi, bodoh."
"Kurasa dia kebingungan."
"Semuanya juga dulu pasti begitu."
"Selamat datang, anak bawang."
Suara-suara itu seperti berdengung, bercampur aduk dan berdesak-desakkan memasuki gendang telinganya seperti semut-semut berebut memasuki sarang ketika hujan turun. Ia tidak begitu paham apa yang mereka katakan sebenarnya –terlalu membingungkan. Perlahan-lahan siluet-siluet di atas sana mulai menjadi lebih jelas. Tampak anak-anak yang mungkin berumur belasan tahun hingga dua puluhan berdiri di atas sana –bergerumul memandanginya sambil saling sahut-sahutan atau semacamnya.
Ia masih duduk di sana ketika tiba-tiba salah satu dari mereka melompat ke bawah atau lebih tepatnya ke hadapannya. Segera saja ia menepi ke sudut ruang sempit yang terbuat dari besi ini –lebih pantas disebut kandang atau kurungan sebenarnya. Dengan kepanikan yang tercetak jelas di wajahnya, ia memandang anak laki-laki bertubuh menjulang dan bertelinga lebar di hadapannya dengan waswas. Anak laki-laki itu berjalan mendekat membuat dirinya semakin merapat pada kerangka besi di belakangnya. Ia menatap anak laki-laki itu takut-takut.
"Hai anak bawang, lihat wajahmu, tampak bodoh," ujarnya diselingi sebuah senyum miring. Yang lain terkekeh dari atas sana –entah apa yang mereka tertawakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Pile of Woods
FanfictionJust a pile of tale in Krystal's backyard Copyright © byfera 2016