Part 1 (Warisan Ayah)

272 21 7
                                    

Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan, (ada beberapa part yang di privat-kan)

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Adrian telah berhenti membayangkan jika dirinya masih memiliki keluarga sejak lima tahun yang lalu. Kabar yang baru disampaikan Bunda Nina, Kepala/Pemilik Rumah Panti Asuhan Harapan, mengembalikan imajinasi masa lampaunya itu. Dia diberi tahu bahwa Ayahnya baru saja meninggal. Seorang kerabat ingin menjemput dan membawa Adrian pulang. Ya, pulang. Pulang yang sesungguhnya. Bukan ke tempat ini lagi. Sebuah bangunan kotor yang seluk-beluk setiap sudutnya, telah menghantui setiap kepingan hidupnya.

"Saya pulang? Ke rumah?" ujarnya dengan gugup. Bayangan keberadaan dirinya dalam sebuah rumah, hanya bak fatamorgana yang tak nyata. Perasaannya sulit digambarkan. Bahkan lukisan abstrak yang berada di belakang Bunda Nina, terlihat lebih baik dari apa yang ada dalam otaknya kini.

Bunda Nina mengangguk-angguk seraya tersenyum. Bayangan dua butir telur melintas di kepala Adrian, ketika melihat bonggol pipi wanita itu. Kedua tangan remaja pendiam itu saling bertaut. Kepalanya sedikit menunduk. Kebingungan dan ketidak percayaan jelas dia pertunjukkan pada wanita gendut di hadapannya.

Bunda Nina masih saja menatap Adrian dengan wajah berseri-seri dari balik kaca mata setengah lingkarannya. Menunggu... atau juga mungkin, mengharapkan ada ledakan emosi yang tiba-tiba dari Adrian. Ketika yakin pemuda itu masih terlihat baik-baik saja, dia melanjutkan perkataannya.

"Ya, kamu bisa pulang ke rumah kamu. Tantemu datang dan menanyakan seorang anak yang memakai liontin bergambar bunga mawar. Ibu tahu ada foto bayi juga, foto kamu, di dalam liontinnya. Jadi waktu ibu pinjam liontin kamu, itu karena kami ingin membandingkannya. Dan dia juga bilang, dulu waktu masih bayi ada tanda lahir bewarna cokelat di balik telinga Adriannya. Ibu langsung teringat kamu," jelas Bunda Nina sambil mengecap sendok teh pekat hangatnya. Cuaca yang terus menerus hujan, memang membuat minuman panas terlihat nikmat saat itu. Sayangnya, Bunda Nina tidak mau repot-repot menawarkannya kepada pemuda di depannya.

"Dia meminta ibu mengambil rambut kamu... ehm (dia terbatuk) diam-diam, soalnya khawatir kalau langsung meminta ke kamu, dan jika pada kenyataannya kamu bukanlah anak yang dia cari, kamu pasti akan kecewa sekali. Ternyata hasil tes DNA mengatakan kamu memang anak yang mereka cari!" Bunda Nina sedikit histeris. Ekspresinya seperti ketika memenangkan lotre lima puluh ribu rupiah yang pernah di dapatnya dahulu.

Adrian menyentuh kalung yang tersembunyi di balik baju kausnya yang pudar.

"Oh ya, bukti yang juga tak kalah kuatnya, yang membuat Tante kamu semakin percaya, ada tulisan Kadri Arbany di liontin kamu. Ya kan?" ujar Bunda Nina. "Dia bilang, kamu mirip sekali dengan kembaran kamu."

"Apa?!" seru Adrian.

Apa telinga ini yang salah atau...

"Kamu punya kembaran Iyan,"

... oke itu benar.

Bunda Nina tersenyum lebar. Karena kebahagian anak asuhnya adalah kebahagiaannya juga. Atau lebih kurang itu yang dia pikir Adrian rasakan. "Namanya Zinan. Dia tinggal bersama ayah kamu. Sewaktu kamu dibawa oleh ibu kamu ketika berumur satu tahun,"

"Oh begitu," lirihnya.

"Maaf ibu tidak menanyakan kesediaan kamu dahulu, karena... ibu pikir ini adalah kesempatan yang bagus sekali, mengingat umur kamu yang sudah cukup... kamu udah tujuh belas tahunkan? Yah, tapi... tetap saja jika kamu menolak, ibu juga tidak akan memaksa kamu pergi. Rumah ini selalu terbuka untuk kamu Nak," Ujar Bunda Nina dengan suara tarikan napasnya yang cukup keras dari pada orang biasanya. Tubuh yang besar sepertinya membuat dia sedikit kesulitan menghirup udara. Apalagi kantor kepala panti asuhan yang telah dihuninya bertahun-tahun ini, sangat pengap oleh kertas lembab dan debu yang tidak dibersihkan. Membuat orang-orang yang masuk ke dalam sini, harus mengernyit sebentar sebelum terbiasa.

the secret life of AdrianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang