Part 16 (Melanjutkan Hidup)

77 10 7
                                    

Kejadian pengeboman rumah Adrian telah berlalu setahun yang lalu. Luka dan ketakutannya masih terngiang bagi semua orang yang ditinggalkan. Sejak kejadian tersebut, Zinan semakin sering mengalami mimpi buruk. Ibunya, entah benar-benar dirinya atau tidak, terkadang juga termasuk di dalamnya. Jika terlalu sulit baginya mengistirahatkan diri sendiri, Zinan harus menenggak obat agar tertidur. Dan pada beberapa malam lainnya dia akan terbangun di tengah malam dengan tubuh menggigil tanpa alasan.

Kepergian Ferdi dan Rika, cukup berat bagi Zinan. Dia memang hidup bersama Elena dan Juna sejak kecil. Namun bukan merekalah yang membesarkannya secara langsung. Kedua adik Papanya tersebut juga tak kalah sibuknya dengan Papa Razin sendiri. Bahkan terkadang tidak pulang ke rumah berbulan-bulan. Sehingga Ferdi dan Rika adalah tempat Zinan biasanya mengadukan segala permasalahan hidupnya.

Kedua orang yang telah membesarkannya, namun tidak sempat melakukan hal yang sama kepada anaknya sendiri. Ya, anaknya sendiri. Mereka memiliki seorang anak laki-laki berumur 8 tahun, yang sekarang sedang bersekolah asrama di Inggris. Zinan yang merasa berhutang kematian. Mengambil alih pengasuhan anak lelaki tersebut. Dia akan membiayai semua keperluannya, sampai dewasa.

Semua penjahat yang tersisa telah diadili dan dipenjara. Anehnya Elena tidak pernah kembali ke rumah sejak kepergiannya ke Paris. Wanita itu pernah sekali mengirimkan sebuah surat kepada Zinan, setelah kejadian besar itu. Isi surat dengan cap pos Amerika tersebut memberitahukan dia tidak akan pulang ke rumah dengan jangka waktu yang tidak diketahui. Dia akan cukup sibuk untuk mengurus beberapa hal, urusan perusahaan di luar negeri. Dan akan pulang sesekali ke Indonesia untuk mengawasi perusahaan lainnya. Zinan tidak membalasnya. Walau sebenarnya bukan dikarenakan suatu prasangkaan. Tuduhan Adrian kepada wanita itu cukup beralasan. Namun ketika di persidangan, tidak ada penjahat yang menggakui jika Elena ada sangkut pautnya dengan mereka. Mereka memang murni ingin merampok rumah Adrian.

Zinan, Adrian dan para pelayannya yang tersisa, Eko dan Lili, terpaksa harus pindah. Sebenarnya ada dua pelayan lagi yang selamat, namun mereka memilih mengundurkan diri. Rumah Adrian pun juga masih dalam proses perbaikan. Sehingga mereka harus pindah. Zinan sendiri juga masih trauma dengan mayat yang bergelimpangan di koridor.

Rumah baru mereka pada saat ini adalah warisan Razin Andani kepada Zinan. Yang aslinya atau sebelumnya adalah rumah Om Azwar Andani. Sebuah rumah besar yang berada di pinggiran kota. Rata-rata anggota keluarga Andani memang memilih memiliki rumah tetap di tempat yang sepi dan berhalaman luas. Bahkan ada beberapa yang berada di tempat yang rasanya tidak mungkin ditinggali.

Bagaimana pun juga, mereka harus melanjutkan hidup. Zinan mulai mengembangkan bisnis selingan, yaitu membuka sebuah kafe di tepi jalanan kota yang ramai. Baru sebulan yang lalu pemuda itu membeli sebuah rumah penduduk yang sudah tua, peninggalan Belanda. Merehabnya dalam tiga minggu, sambil merekrut para pelayan dan koki. Siang nanti, Zinan akan mengadakan acara pembukaan kafenya. Sehingga setelah sarapan, pemuda itu akan berangkat untuk mempersiapkan segala hal.

Pagi ini, dia sedang duduk di depan meja makan yang langsung menghadap ke halaman yang penuh dengan bunga mawar merah. Sambil menghirup kopi paginya yang menguarkan aroma hangat. Dahulunya Azwar memang senang dengan bunga. Pengurus kebunnya berjumlah tiga orang, padahal halamannya tidak lebih luas dari yang ada di rumah Adrian. Sejak ditinggalkan oleh Azwar, empat belas tahun yang lalu, halaman tersebut telah menjadi hutan belantara. Sebagian pepohonan buahnya jatuh bergelimpangan dan tanaman bunga tumbuh liar melebihi batasnya. Untung saja mereka membawa Eko. Sehingga pria tersebut bekerja keras selama dua minggu untuk membereskan semuanya.

"Saya tahu kamu tidak suka mengobrol ketika makan. Tapi saat ini saya kembali teringat dengan sebuah pertanyaan yang dahulu sering saya pikirkan," Adrian memulai pembicaraan, yang biasanya sulit dilakukannya. "Kenapa nama belakang kita berdua bukan Andani?"

Zinan menurunkan cangkirnya. "Papa bilang, Mama ingin memberikan nama yang berbeda untuk kita. Entah kenapa Papa setuju saja. Saya juga nggak ngerti, dia nggak mau cerita panjang lebar,"

Adrian melanjutkan memakan nasi goreng dan telurnya. Dia tidak terbiasa memakan roti di pagi hari seperti kembarannya.

"Kamu tidak ada rencana hari ini kan?" suatu pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu. Karena sebagian besar waktu Adrian hanyalah berputar-putar di sekitar Rumah.

Adrian mengangkat bahu. Seakan dia bisa saja memiliki jadwal janji mendadak.

"Oke, siang ini jam 1, jangan lupa, acara pembukaan cafe. Tidak perlu bawa apa-apa," saran Zinan.

"Oh ya, saya juga nggak punya duit," ujarnya sambil menyeruput jus jeruk.

Zinan tampak berpikir setelah mendengar perkataan yang barusan diucapkan Adrian. "Papa tidak mewariskan sedikit pun uang untuk kamu?" tanya Zinan.

"Kamu kan sudah dengar isi suratnya, hanya Rumah,"

"Kalau kamu memang kesulitan uang, jual saja beberapa barang Papa," ujar Zinan.

"Oh ya, saya pikir dulu," balasnya singkat. Pada kenyataannya, sebagian besar barang tersebut telah di serahkannya kepada Om Dani.

*****

Semua teman dan rekan bisnis keluarga Andani, memadati kafe kecil yang terlihat sangat memukau dibandingkan bangunan di kanan kirinya. Padahal acara tersebut hanyalah hobi kecil-kecilan Zinan, namun mereka sangat antusias menghadiri undangan. Banyak yang secara langsung memuji desain dan menu yang akan disajikan. Tentunya hal ini juga didorong oleh basa-basi yang biasa dilakukan pebisnis. Menggaet hati sebagai investasi terselubung. Walaupun begitu, keluarga Andani memang sangatlah terkenal. Beratus-ratus karangan bunga berjejer memenuhi tepian jalan. Tidak hanya dari pihak perusahaan, namun juga instasi lain yang sering berhubungan dengan keluarganya. Semua orang menaruh hormat kepada keluarga besar Andani.

Zinan berjalan menuju ruangan kerja pribadinya yang ada di bagian belakang bangunan. Para tamu sedang mencicipi menu-menu gratis yang menjadi andalan kafenya. Dia mengambil sebuah tisu dan membersihkan wajahnya dari peluh yang bercucuran. Keramaian membuat suhu kafenya menjadi naik. Pemuda itu mengambil minuman dingin di dalam kulkas dan menenggaknya sampai habis.

"Permisi pak!" ujar seorang pelayan yang berdiri di depan pintu.

"Dimana Adrian?" tanya Zinan.

"Belum ketemu juga Pak, sudah saya tanya kesana kemari, tidak ada yang lihat," ujar si pelayan yang bernama Hadi.

Mata Zinan menangkap sebuah kotak kardus kumal yang berada di atas meja mengkilatnya. Sebelumnya barang itu tidak ada di sana. Berjalan mendekat dan mengangkat sebuah kertas lusuh yang terhimpit di bawahnya.

A bersama saya

datanglah tanpa polisi

atau saya akan kuliti dia hidup-hidup

dan kamu yang selanjutnya

RumahE. A.

Zinan terbatuk keras. Sebagian air yang dihirupnya menyembur kemana-mana. Pemuda itu segera membuka kotak kardus tersebut. Sedikit terlompat ke belakang karena kaget dengan apa yang ada di dalamnya. Sebuah telinga tergeletak bersih, tanpa darah. Brengsek! Brengsek! raung Zinan di dalam benaknya.

the secret life of AdrianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang