Part 6 (Dibunuh Sebelum Bunuh Diri)

72 11 2
                                    

Kedua bola mata Zinan membulat lebar. Bibirnya terbuka sedikit. Apa yang baru dilihatnya, seakan telah dapat disimpulkan dari bayangan wajahnya. Pemuda itu ingin mengeluarkan suaranya dengan sedikit usaha lebih keras, karena dia ketakutan.

"Kenapa... wajahnya?" gagapnya, sambil berjongkok di samping Adrian.

"Kenapa dengan wajahnya?" tanya Elena penasaran, dia tidak sempat melihat apa yang mereka lihat.

Zinan mengangkat wajahnya yang pucat pasi seperti baru saja melihat hantu. Peluh mengalir di keningnya.

"Seperti... terpanggang!" seru Zinan dengan suara bergetar.

Elena dan kedua pelayan yang ada di ruangan itu, bergegas mendekati Adrian dan Zinan.

"Bukan," sanggah Adrian. Dia memutar kepalanya, sehingga mereka saling berhadapan.

"Wajahnya berlumuran darah kering," jelas Adrian. "Lehernya robek, kamu nggak lihat?"

Elena meratap histeris. Membuat Adrian menghela napas.

"Bella..."

"Sudahlah! Kalian kembali ke kamar!" Elena tampak tersadar kembali. Kedua remaja itu tidak seharusnya ada di sana. "Kalian nggak boleh di sini! Tidak ada yang boleh ke sini lagi tanpa ijin saya,"

Adrian dan Zinan terpaksa menuruti perkataan Elena. Mereka bangkit dan pergi meninggalkan ruangan tersebut yang kini telah terang oleh cahaya matahari. Adrian harus menyusuri banyak anak tangga yang seperti tidak ada habisnya, hingga mencapai lantai tiga. Dia berjalan dengan badan terbungkuk-bungkuk seperti orang lanjut usia, menuju kamarnya. Tempat tinggalnya dahulu tidak memiliki sesuatu seperti ini. Ketika akan menutup pintu, Zinan mengulurkan sepatunya.

"Apa?" tanya Adrian.

"Kamu pikir... kalau Bella..." Zinan menelan ludah, matanya yang merah masih memancarkan kebingungan dan kesedihan. "Meninggalnya aneh sekali,"

"Cara meninggalnya yang aneh," ralatnya.

Zinan mengernyit, sedikit kesal.

"Ya, itu maksud saya," desis Zinan. Dia mendorong pintu kamar Adrian terbuka. "Kenapa dia harus menggunakan dua cara buat bunuh diri?"

"Dia Cuma pakai satu cara," Adrian mengingatkan.

Zinan terdiam sesaat menatap kembarannya dengan wajah jengkel.

"Apa yang kamu pikirkan sekarang?"

Adrian tidak menjawab.

Zinan memperhatikan wajah Adrian yang tidak menunjukkan emosi apapun. Pemuda itu sejak awal memang tidak terlihat berkabung. Wajar saja, karena Bella adalah orang yang baru dikenalinya sehari yang lalu. Namun orang-orang biasanya akan menunjukkan sedikit rasa empati, terlepas dari siapa yang mengalami musibah.

"Kamu tidak merasa takut? Sedih? Atau apa?" tanya Zinan dengan alis berkerut.

Adrian mengangkat sebelah bahu, sambil melepaskan jaket hitamnya yang kini ditaruh di sandaran kursi.

Zinan menggelengkan kepala, kakinya mundur perlahan. Dia berbalik pergi tanpa mengucapkan apa pun lagi.

"Bella dibunuh," ujar Adrian pelan.

Zinan berhenti. Menoleh sedikit ke belakang.

"Dia dibunuh sebelum bunuh diri," jelas Adrian tanpa menatap ke arah kembarannya.

*****

(no name) : Biasanya ada beberapa yang seperti itu. Kamu harus mulai dari kamarnya.

Adrian : Ya baik. Tapi... ada yang membunuh Bella. 

the secret life of AdrianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang