Part 11 (Satanic)

95 9 8
                                    

"Insting... smells like bullshit!" dengus Zinan. "Opini dan teori tidak ada bedanya dengan sampah. Yang terpenting itu bukti dan fakta! Sesuatu yang nyata. Kita tidak hidup di zaman Sherlock Holmes lagi,"

"Walaupun kita tidak hidup di zaman Sherlock Holmes lagi," Adrian menggunakan nada sedikit tinggi di awal kalimatnya. "Tapi cara berjalannya kehidupan tidak ada bedanya dengan waktu itu. Sejarah itu berulang. Kehidupan ini berulang. Yang berbeda hanya bagaimana kita memandang dunia,"

Zinan sekilas mengatupkan bibirnya dengan rapat. "Oke, lalu apa yang menjadi pegangan akan teori kamu?"

Adrian melepas jaketnya. "Kamu nggak penasaran dengan keadaan Juna?"

"Tante nggak kasih izin saya ketemu Om," jelas Zinan.

Adrian menyeringai sekilas.

"Kembali lagi ke masalah sidik jari dan belati. Ferdi menggaku, sehari sebelumnya membersihkan pisau belatinya, dan dia pikir mungkin dia sempat menyentuhnya secara langsung, dan kemudian malamnya..."

Adrian berbalik.

"Semua orang melihat Elena, memindahkan pisaunya dari lemari perpus ke lemari ruang piano. Dia bilang dia juga sempat menyentuhnya. Dan Ferdi benar-benar melihat dengan mata kepalanya sendiri jika Elena menyentuhnya. Katanya. Atau mungkin bisa juga bohong..."

"Lalu? Dia menyentuhnya dan kenapa memangnya?" tanya Zinan sedikit sinis.

"Kamu belum paham? Ferdi dan Elena menyentuh pisaunya sebelum kejadian dan nggak ada satu pun sidik jari mereka di sana,"

Zinan yang kini tersenyum mencemooh.

"Pisaunya memang biasa dibersihkan sama Fer..."

Zinan berhenti karena Adrian menaikkan sebelah tangannya.

"Mulai saat ini, kamu jangan terlalu percaya sama dia," Adrian berbalik dan mulai mendorong sebuah buku tua yang ada di atasnya. "Di rumah ini terlalu banyak drama, ahh yaa... bullshit,"

"Apa?!" seru Zinan yang emosinya kembali menggelegak. Tangannya mendorong Adrian, menuntut penjelasan. Ferdi seperti orang tua kedua bagi Zinan. Dia tidak akan membiarkan seorang pun mengejek pria tua itu.

Adrian mundur. Seakan memberi garis di antara mereka.

"Kamu nggak berpikir, mungkin saja ada orang yang sengaja bikin sidik jari Juna kecetak jelas di situ?" Adrian menunjuk suatu hal yang tidak ada di sana. "Elena dan Ferdi sudah bilang, mereka memang menyentuh belatinya. Ini adalah kata kuncinya. Ini kata kuncinya. Apa kamu masih tidak paham?"

Zinan membisu. Tidak mengerti.

"Begini, saya mohon kamu tidak menyela atau memukul saya dulu. Dengarkan saja. Nanti kamu simpulkan sendiri maksud perkataan saya," Adrian seperti memohon izin. "Jika Juna beraksi tanpa menggunakan sarung tangan, berarti dia mungkin terlalu baik, karena mau menolong menghapus sidik jari orang-orang yang menyentuh pisau sebelum dia. Mungkin... Juna bilang seperti; Kalian nggak perlu terlibat, biar aku yang menanggung semuanya! Benar begitu? Kalau mereka dari awal bersekongkol, Elena, Juna, Ferdi, dan entah siapa lagi... bisa saja kan? Mungkin jiwa pengorbanan Juna memang tinggi. Tapi..." Adrian menatap Zinan tajam. "Ini menjadi nggak masuk akal, karena ada tiga kepala yang merencanakannya dan mereka tetap melakukan banyak kesalahan... seharusnya jika pembunuhnya, jika memang ada pembunuh, dan dia nggak gila! Dia nggak akan mau meninggalkan jejak dengan mudahnya. Normalnya untuk standar pembunuh biasa, mereka nggak akan mau terlihat mendekati korban pada saat-saat sebelum rencananya dilaksanakan. Atau jika pembunuhan terjadi tanpa rencana, bagaimanapun juga setelah membunuh orang, dia pasti akan membuang senjatanya sejauh mungkin.

the secret life of AdrianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang