Part 2 (Jemputan)

117 14 5
                                    

Semoga Ramadan kali ini penuh berkah

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Tak pernah terbersit sedikit pun di dalam hati Adrian rasa senang mendengar kepemilikannya atas rumah tersebut. Apalagi hartanya berasal dari pemberian seseorang yang tak dikenalinya. Dalam hal ini, baginya ayahnya sama saja dengan orang asing. Lagi pula, Adrian sedikit heran. Jika memang ayahnya sekaya itu mengapa dia tidak sejak dahulu mencarinya. Mengapa baru sekarang?

"Kamu yang namanya Adrian?" tanya pria jangkung tersebut, yang sepertinya seumur dengan Om Bara.

Adrian mengangguk sedikit dengan wajah gugup, berusaha menjauh dari sorot mata seperti laser yang dipancarkan pria itu.

"Adrian sangat pemalu, dia agak sulit berhadapan dengan orang baru," jelas Bunda Risma sambil menyentuh bahu Adrian dengan lembut. "Tapi Adrian anaknya sangat patuh dan sopan, dia anaknya baik sekali pak,"

"Ya, Adrian itu sebenarnya tidak nakal. Memang kadang-kadang suka berkelahi, tapi biasanya bukan karena dia yang mulai," tambah Bunda Nina. "Di panti asuhan karakter anak-anak memang bermacam-macam, cukup susah untuk mengontrol mereka sekaligus. Tapi... yah... namanya anak-anak... Eee, buk Elena kenapa tidak bisa datang pak... Bapak namanya siapa?"

Pria itu maju dengan bunyi ketukan sepatu yang keras. Mengulurkan tangannya.

"Saya Juna. Elena dan saya, sepupu Papa Adrian," Juna menyalami mereka semua.

Dia berhenti di hadapan Adrian dan menatap pemuda itu dengan senyuman lebar yang mendadak terkembang di wajahnya. Mengulurkan sebelah tangannya yang lebar. Bau lembut yang menguar dari tubuh pria itu, membuat ruangan tersebut menjadi sedikit lebih baik.

Adrian menyambutnya dengan sedikit ragu.

"Saya Om kamu, tidak usah malu," ujarnya. "Kamu akan tinggal bersama saya dan Tante Elena. Tante Elena sedang kurang enak badan,"

Adrian tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menanggapi. Juna terlihat memahami sesuatu.

"Saya yakin kamu bingung, kenapa tiba-tiba kami menjemput kamu? Kenapa kami tidak sejak dulu melakukannya. Kamu harus tahu Adrian, kami tidak tahu keberadaan kamu, sampai kami menemukan catatan di buku peninggalan ibu kamu," Juna menatap mata Adrian yang tampak sedikit tertarik ketika mendengar ibunya disebut.

"Ibu... kenapa ma... meninggal?" Adrian segera merubah kata mati menjadi meninggal. Dari buku-buku yang dibacanya. Kata meninggal bermakna lebih sopan.

Juna tersenyum kaku.

"Ibu kamu, meninggal karena sakit," Juna menaikkan bahunya sedikit ketika mengungkapkannya. Pria itu memutar tubuhnya dengan cepat, membuat ujung jasnya berkibar. Dia persis seperti daddy long legs yang pernah Adrian baca dahulu.

"Semua berkas-berkas telah selesai sama Pak Hedi, benar Buk Nina?" tanya Juna. Matanya mengerling pada pengacaranya itu sekilas. Bunda Nina bangkit. Adrian menatap langkah berat wanita berbadan besar tersebut, mendekati pamannya.

"Ya, sudah pak. Kami sesekali akan mengunjungi rumah Adrian. Elena sudah bilang sama Pak Juna kan?" tanya Bunda Nina.

"Ya, Pak Hedi yang bilang," Juna meluruskan seraya tersenyum singkat, lebih seperti kernyitan sesaat disebabkan seekor nyamuk yang lewat. "Yah, Adrian, kamu sudah siap pergi kan?"

Bunda Risma menarik Adrian. Membantunya memakai tas hitam besar berisi pakaian. Tidak seberapa, namun semuanya adalah yang paling bersih yang bisa disiapkannya. Ditambah sebuah tas jinjing bermotif bunga-bunga, milik Bunda Risma, yang juga akan dibawa oleh Adrian.

the secret life of AdrianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang