Part 4 (Tidak Sama)

81 12 0
                                    

Adrian memutar kepalanya ke belakang, ke arah kiri dari kamarnya. Seorang pemuda sedang berdiri di atas railing balkon. Jika orang lain yang melihat hal tersebut, mungkin dia akan langsung menjerit. Tidak demikian dengan Adrian yang hanya menatap datar pemuda tersebut yang berusaha menyeberangi dinding layaknya pemain sirkus. Hanya ada pijakan dan pegangan kecil pada lekukan dinding. Adrian berdiri. Masih menatapnya dengan dingin.

Tap! Pemuda asing itu melompat tepat di hadapan Adrian. Meluruskan badannya, sehingga kini meraka berdua sedang berhadap-hadapan. Tinggi mereka sama. Tapi... kita tidak terlihat sama, benarkan Zinan, batin Adrian.

"Saya Zinan. Maaf menganggu (dia menatap buku yang ada di atas meja) kamu," pemuda itu tersenyum dan memajukan wajahnya dengan penuh perhatian. "Kamu benar saudara kembar saya?"

Adrian dengan perlahan mengangkat tangan membalas ulurannya. Pemuda di hadapannya memiliki warna kulit yang terlihat lebih sehat dari Adrian. Sepertinya dia senang beraktifitas di bawah matahari. Hidungnya sedikit lebih mancung darinya. Di sudut matanya, terlihat sebuah tahi lalat yang posisinya sangat pas sekali di wajahnya. Rambutnya bewarna agak kecokelatan, sedikit berbeda dari Adrian yang hitam legam. Pupil mata meraka terlihat sama persis, bewarna cokelat terang. Namun yang paling mencolok perbedaannya adalah pada bagian tubuh mereka. Zinan terlihat lebih berisi, seperti dibentuk di sebuah gym. Adrian terlihat seperti tiang listrik jika disandingkan dengan pemuda itu.

Pandangan penasaran Zinan, menyoroti setiap inci tubuh kembarannya. Bahkan bisa saja dia menemukan sesuatu hal yang mungkin terlewatkan oleh Adrian sendiri.

"Kita nggak sama," seloroh Zinan masih dengan tatapan menilai.

"Ya,"

Zinan terkekeh.

"Kamu suka tinju?"

Adrian mengangkat sebelah alisnya.

"Nggak,"

"Karate?" Zinan mengukur tubuhnya dengan Adrian.

"Nggak,"

"Seafood?"

"Tidak terlalu,"

"Suka filem Star Wars?" Zinan memberikan gerakan seperti ingin menyerang Adrian.

"Tidak nonton,"

"Apa?" tanya Zinan.

"Apa?" ulang Adrian.

"Kamu nggak nonton apa?" tanya Zinan bingung.

"Aku nggak pernah nonton filem," jelas Adrian.

Zinan terlihat bingung.

"Di panti ada tivi kan?" Zinan bertanya dengan hati-hati. Takut menyinggung Adrian.

"Ada, tapi saya nggak pernah ikut nonton. Hanya... sekilas," jelasnya.

Adrian berhasil membuat Zinan terdiam. Dia berusaha terlihat biasa saja. Kemudian kembarannya itu memutuskan untuk berjalan masuk ke dalam kamar Adrian. Lampu kamarnya telah dimatikan, sehingga sekelilingnya menjadi gelap. Zinan memandangi lukisan abstrak, seperti langit yang digulung-gulung dalam warna ungu gelap. Pemuda itu melanjutkan mengajukan beberapa pertanyaan pribadi, yang dibalas dengan cepat oleh Adrian. Seakan sedang terjadi interogasi dadakan. Ketika jam tangannya telah menunjukkan pukul 06.06 WIB, seorang pelayan masuk ke dalam kamar.

"Tuan!" gadis itu masuk tanpa permisi.

"Hei! Kamu tidak sopan!" seru Zinan. Pemuda itu berjalan mendekatinya dengan wajah marah. "Kamu tidak bisa mengetuk pintu?!"

Gadis itu menunduk karena merasa bersalah. Wajahnya tampak berantakan.

"Maaf Tuan, tapi ini penting sekali," Dia menyelipkan sehelai rambutnya yang kusut.

"No... Nona Bella... Nona..." wanita itu tergagap. Tanpa perlu diberitahu, sudah jelas sekali pelayan ini sedang panik.

"Bisa nggak kamu ngomong yang jelas?" seru Zinan kesal.

"Nona Bella bunuh diri di ruang piano tuan Razin," jelas gadis itu dengan berlinang air mata.

"Bunuh diri?!" teriak Zinan. Kedua bola matanya seakan ingin melompat keluar. "Kamu jangan bercanda...!"

"Benar Tuan," potong gadis pelayan itu. "Pak Ferdi yang menemukan mayatnya,"

Zinan langsung berlari keluar. Adrian tidak mengikutinya, malah hanya menghempaskan diri di atas kursi sofa bewarna hijau tua, yang telah menjadi favoritnya.

"Tuan tidak ke bawah?" tanya pelayan itu.

Adrian mengangkat kepalanya.

"Untuk apa?"

Wajah ketakutan semakin tergurat jelas di wajah pelayan kurus itu. Dia segera menundukkan kepalanya dan pergi mengikuti tuannya yang telah lebih dulu menghilang.

"Kenapa kamu tahu dia bunuh diri?" tanya Adrian pelan.

Gadis itu berbalik. "Apa Tuan?"

"Kenapa kamu tahu dia bunuh diri?"

"Ada pisau di dekat mayatnya Tuan,"

Adrian menatap dingin pelayan itu.

"Kenapa kamu tidak berpikir (ada tekanan pada kata 'berpikir') kalau pembunuhnya bisa saja meninggalkan pisaunya di sana?"

Gadis itu mencari jawaban dari ingatannya.

"Pergelangan tangannya berdarah tuan, dan juga ada... ada tali buat gantung diri di atas langit-langit," gadis itu kaget melihat Adrian yang langsung berdiri.

the secret life of AdrianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang