Ephemera

51 5 0
                                    


Don't kiss me if you're afraid of thunder. My life is a storm.—Anita Krissan

*

Suara adzan terdengar sayup-sayup, menjagakan Sheyra dari peraduannya. Perempuan itu terkesiap. Dipikirnya hari sudah berganti dan panggilan Tuhan yang baru saja ia dengarkan adalah adzan subuh. Tanpa mengecek jam di dinding maupun di ponsel, Sheyra beranjak dari tempat tidur hanya untuk kembali terduduk. Memandangi ruangan asing bernuansa biru turquoise dan ditempeli wallpaper tokoh kartun Blues Clues dengan perasaan senak.

Sudah lebih dari satu minggu berselang semenjak Sheyra datang ke tempat ini, namun masih saja ia disorientasi tempat, arah dan waktu. Otaknya masih terpaku pada tempat dimana seharusnya dia sudah beranjak. Hatinya masih berjalan di zona yang seharusnya sudah dia putus frekuensinya.

Sheyra memeluk kedua lututnya dan menyorongkan kepala di atasnya. Mencegah sebutir bilur bening merembah dari muara. Menekan dalam-dalam luapan bandang sebelum membanjiri seluruh relung jiwa.

Semesta memang kejam. Setiap detik kesadaran dan ketidaksadarannya selalu saja Sheyra diingatkn akan adanya lubang menganga yang sudah terlalu dalam untuk kembali diisi dan tak ada lagi yang tersisa di dalamnya.

Dan Sheyra harus hidup dengan itu. Berjibaku di dalamnya, sendiri. Benar-benar sendiri tanpa ada satu pelampiasan yang mampu mendistraksi kekarutannya. Tidak kuliah, lantaran memang baru dimulai dua minggu lagi dan Sheyra dilarang pulang oleh Papa agar proses adaptasi berjalan baik. Tidak Aresky, satu-satunya orang yang dikenal Sheyra dan mendadak memiliki banyak kegiatan hingga lelaki itu pulang kerumah pagi buta dan pergi saat Sheyra sedang lena. Tidak pula pemilik rumah—kedua orangtua Ares—yang masih mengurusi pekerjaan mereka di luar pulau.

Satu-satunya keberadaan konstan hanyalah Ceu Narni dan beliau sudah terlalu sibuk mengurus rumah alih-alih ikut membereskan serpihan kekacauan di hidup Sheyra. Dan gadis itu lebih sekadar sadar diri. Dia bukan siapa-siapa. Tidak pada tempatnya ia terlalu banyak meminta dan mengeluh.

Hanya saja, berjalan tanpa cahaya dan pijakan sungguh sangat melelahkan. Seperkasa apapun Sheyra menerjang ombak, ia terus saja meluruh. Lajunya terseok dengan luka lara yang bertengger di pundak. Tetapi demi sang segala—Papa--apapun akan ia lakukan, pergi ke neraka sekalipun.

Suara ketukan pintu menghentikan ratapan Sheyra. Cepat-cepat ia membuka pintu, menyambut seorang wanita paruh baya dengan rambut yang sudah memutih namun tetap terlihat cantik dan memiliki aura menenangkan. Aura seorang ibu.

"Halo, Sheyra. Tante ganggu, yah?" tanya wanita itu, ramah dan hangat.

"Tante Rania?" cepat-cepat Sheyra meraih tangan wanita di depannya dan menciumnya dengan takzim. "Maaf, Tante... Sheyra enggak tahu Tante pulang—" Sheyra meringis salah tingkah. "—enggak, kok, Tante. Tante enggak ganggu sama sekali. Sheyra cuma habis bangun tidur. Hehehe..."

"Atuh, maghrib-maghrib kok tidur. Pamali." wanita yang masih cantik meski telah memasuki pertengahan kepala empat itu mengelus rambut Sheyra lembut, "maaf baru bisa nemuin kamu, ya, Nak. Tante sama Oom baru selesai ngurus kerjaan. Namanya juga usaha sendiri. Ya diurusin sendiri."

Tanpa sadar, Sheyra berdecak lirih. Rendah hati sekali Tante Rania ini. Usaha coal mining yang membuat beliau dapat mendirikan yayasan pendidikan dan beasiswa Sagara Widhyanata—juga beberapa beberapa lembaga bimbingan belajar, sebelas supermarket serta tujuh spa dan salon—masih saja disiratkan layaknya usaha toko kelontong biasa.

"Sheyra malah jadi enggak enak banget ngerepotin Tante. Makasih, Tante... Sheyra sudah diizinkan disini—"

"Ish, apaan, coba." Rania mengibaskan tangan, menyetop ucapan terimakasih Sheyra yang dirasanya berlebihan. "Tante seneng kamu disini, jadi Tante enggak bakal kesepian kalo ditinggal Oom kamu kerja atau Ares main."

A Piece of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang