Falling Slowly

26 3 0
                                    

Like a rivers flows so surely to the sea darling, so it goes some things are meant to be.—Elvis Presley

*

Bunyi dering ponsel begitu bising sehingga Ares langsung terbangun dari tidurnya. Ares menatap jam digital di nakas samping kasur. Pukul empat pagi. Ares memaki, karena tidurnya yang baru setengah jam sudah terdistraksi. Jadi, siapa yang kurang ajar menelponnya pagi buta begini?

"Halo!" sungut Ares tanpa melihat identitas penelpon.

"..."

"Halooooo! Diem aja gue matiin! Bye!"

"Res..."

Ares menegang. Mengenali suara di seberang. Suara yang satu tahun belakang ini menjadi pengantar tidurnya atau pembuka harinya.

Gadisnya, Eloise Pritha Meishadama.

"Don't you want to talk to me?"

Ares memejamkan mata. Ikut merasakan sendu yang tersirat pada suara sumbang itu. Bahkan tanpa melihat, Ares dapat mengetahui bahwa gadis di seberang sana sedang menahan sedan.

"Jangan nangis, Dama. Gue yang salah. Gue minta maaf."

Tidak ada jawaban. Hanya terdengar suara napas tersengal.

"Dam—"

"Gue di depan. Kalo sekarang bisa ketemu?"

Ares langsung menutup telepon dan lekas menghampiri gadisnya. Ia merasa berdosa telah membiarkan masalah mereka berlarut-larut tanpa berniat melakukan penuntasan. Betul, Dama telah berbuat salah. Tetapi bukannya Ares tidak memiliki andil dalam merumitkan polemik ini. Ares telah mencederai ego Dama serta memberikan silent treatment tanpa alasan yang jelas disaat seharusnya ia bersikap selayaknya lelaki sejati.

Mini cooper berwarna kuning terparkir tepat di depan rumah Ares. Seorang gadis di balik kemudi tertunduk sembari memeluk setir. Punggung gadis itu naik turun tidak beraturan.

Ares menghela napas, membuka pintu mobil.

"Dama."

Dama mendongak. Netra merah berembun menyambut Ares, membuat cowok itu lagi-lagi memejam merasakan pisau virtual mengiris hati. Merasa bersalah telah membuat si gadis begini merana. Ares lalu memeluk dan mencium bibir Dama. Dalam dan lama.

"Andai elo selalu semanis ini. Hell, kemana aja si manis Ares? Nunggu gue nangis-nangis kaya gini dulu, baru lo berubah?"

Tangisan Dama berubah menjadi kikikan. Ares menghela napas lega.

"Lain kali siangan dikit kalau mau begini. Kalo sekarang yang ada was-was, takut digrebek hansip, dikirain mau melakukan hal yang iya-iya."

"Otak elo, tuh, ya, harus dikasih bayclean." Dama menggerutu. "Let's skip this pep talk. We've got something to do."

"What?"

"Redefining our relationship." Dama menatap Ares tepat di manik mata. "Berantem sama lo kaya kemaren itu, tuh, udah kaya neraka buat gue. Corny, memang. Tapi itu yang gue rasain, Res. Dan gue enggak sanggup kalau harus terus-terusan sakit begitu. But it takes two to play tango. I want to make this right. I want to make this work. Pertanyaannya adalah, are you with me? Atau cuma aku yang ingin seperti itu?"

"Dama, lo berlebihan. Lo—"

"No, no. Gue rasa gue enggak berlebihan. Pacar gue sebulan lebih ngilang. Susah dihubungin, apalagi ditemuin. Lo enggak tau gimana gue sama Caca ngekhawatirin elo. Mikir yang macem-macem. Takut elo kenapa-kenapa karena memang elo enggak pernah cerita apapun ke gue atau ke Caca. Bahkan kabar si cewek yang dirumah lo itu—"

A Piece of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang