Irish

37 4 0
                                    


I know who I am and who I may be. If I choose.—Miguel de Cervantes Saavedra

*

Dering alarm ponsel menjerit kencang, langsung membuat Ares terjaga. Tepat pukul enam pagi. Begitulah hari Ares dimulai. Biasanya, cowok itu segera bangkit dan bersiap melakukan rutinitasnya pergi ke gym atau sekedar jogging. Namun kebiasaan itu sudah lari entah kemana semenjak kedatangan Sheyra tiga minggu silam. Alih-alih mempersiapkan diri untuk berolahraga, cowok itu hanya pergi ke kamar mandi dan mencuci muka, lalu kembali ke tempat tidur dan berusaha memejam lagi. Sesuatu yang harus dilakukannya—meski para sahabatnya telah meneriakinya dengan kata "pengecut" beratus kali : menghindar.

Namun tupai pun kadang terpeleset juga saat meloncat. Pagi ini, upaya Ares menjalankan agenda barunya dapat dikatakan gagal total. Rania melewati kamar Ares saat alarm berbunyi dan mendengar suara anak lelaki semata wayang itu mengerang, pertanda si anak sudah membuka mata. Wanita yang masih cantik di usia yang tak lagi muda itu berdecak tak sabar tatkala tak dijumpainya si bujang di ambang pintu setelah lima belas menit berselang. Bertekad membawa Ares untuk sarapan bersama pagi ini, Rania langsung memasuki kamar anaknya tanpa mengetuk terlebih dahulu. Membuka selimut dan memukuli Ares dengan guling.

"Kamu mau bangun atau Mami siram pakai air mendidih?"

Ancaman yang dapat membuat anak siapa saja terluka secara batin. Ares melenguh, merasa salah memilih keluarga.

"Ares masuk sore, Mamiii..."

"Terus kalo masuk sore, enggak bisa sarapan sama Mami?" pukulan Rania semakin keras dan mantap. "Cepet sarapan sekarang. Atau enggak usah makan aja sekalian!"

Daripada dinobatkan sebagai the next Malin Kundang, Ares mengalah. Diturutinya sabda sang Ibunda. Sambil bersungut, tentu. Apalagi, probabilitas dirinya untuk kabur tak lebih dari 0% lantaran Mami mengekor di belakang dan mengawasi layaknya Ares seorang buronan.

Sesampainya di meja makan, melalui suatu pemandangan yang tersaji di sana, Ares diingatkan kembali alasan untuk menjadi Malin Kundang sempat terselip di benak. Sekarang dia menyesal betul mengapa tak didengarnya saja kata hatinya. Bertatap muka dengan Sheyra selepas adanya konsensus secara verbal antara mereka adalah hal terakhir yang Ares inginkan!

Bukan karena Ares pengecut. Tetapi ia hanya tak tahan melihat raut wajah terluka itu lebih lama—serta tak ingin memperlihatkan luka yang juga terpeta di wajahnya.

Sebelum kecanggungan menguar dan menimbulkan seribu tanya, Sheyra langsung cepat tanggap dan segera membuka sapa.

"Pagi, Tante. Halo, Aresky." sapa Sheyra dengan senyum manis yang palsu. Ares berdecih diam-diam.

"Halo, Baby Munchkin. Maaf, ya. Tante butuh waktu buat nyeret anak bandel ini dari tempat tidurnya. Heran, biasanya enggak gini-gini banget. Gara-gara ada kamu, nih, Sher, Aresnya jadi males. Berasa udah bebas tugas nemenin Maminya sarapan."

"Apaan, coba, Mi." Ares mencebik. "Udah, ah, sarapan. Ares mau tidur lagi. Nanti siang mau lanjut ngerjain tugas, soalnya."

"Belum masuk kuliah kamu udah ada tugas? Ya ampun. Siapa nama dosennya? Mami mau kasih tambahan gaji."

Ares memaki dalam hati. Sial, senjata makan tuan! Bagaimana bisa ia lupa bahwa Maminya adalah istri ketua yayasan tempat dimana dirinya menimba ilmu?!

"Bukan tugas kuliah, Mi. Ares kan panitia Ospek."

Ares tidak sepenuhnya berbohong. Dirinya memang panitia Ospek, bersama sahabat-sahabatnya, juga salah seorang gadisnya—Dama. Tapi sebenarnya role-nya dalam kepanitiaan tidak sepenting itu sehingga ia diwajibkan untuk menghadiri segala tetek bengek kegiatan orientasi mahasiswa baru. Ada atau tidak ada dirinya tidak membuat pengaruh yang signifikan.

A Piece of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang