"Mrs. Portman, bolehkah aku bertanya sesuatu?" tanyaku pada Mrs. Portman disela-sela pekerjaan kami.
"Sure. Apa itu, Rosie?" ucapnya sambil melihatku.
"Apakah keluarga Foster benar-benar memiliki segalanya?" tanyaku hati-hati. Mrs. Portman tertawa mendengar pertanyaanku.
"Segalanya? Itu kata yang terlalu berat, Rosie. Tapi kau bisa bilang bahwa mereka bisa dengan mudah mendapatkan sesuatu yang mereka mau. Bagaimana tidak, mereka memiliki banyak perusahaan dan saham dimana-mana." balasnya.
"Tapi, bukankah mereka orang Inggris? Kenapa tidak membuka perusahaan disana saja?" tanyaku lagi semakin penasaran.
"Kau benar-benar tidak tahu?" tanyanya yang kubalas dengan gelengan kepala. "Perusahaan ini hanyalah salah satu dari usahanya diluar Inggris. Disana mereka memiliki beberapa perusahaan, apartemen dan juga hotel. Si Tuan Muda itu yang mengurusnya, namun entah kenapa dia tiba-tiba memutuskan untuk mengambil alih perusahaan ini dan menetap di Manhattan." jelas Mrs. Portman.
Aku terkejut. "A-apa? Dia menetap disini? Bukankah ia hanya berkunjung?"
Mrs. Portman mengangguk. "Aku mendapat beritanya minggu lalu. Dia mendadak memutuskan hal itu dan karena dia memiliki kuasa, sangatlah mudah."
Aku termenung memikirkan kata-kata Mrs. Portman. Ada perasaan bingung dan senang saat mendengarnya. Lelaki itu menetap di Manhattan, secara tiba-tiba.
**
"Halo?.. Ibu, aku merindukanmu... Ya, aku dan Bibi Jules baik-baik saja... Bagaimana Ayah?.... Syukurlah... Apa? Pacar?........ Ibu, aku tidak punya waktu untuk berpacaran.... Dylan? Bagaimana Ibu bisa tahu?.... Ah, pasti Bibi Jules, tidak Bu, kami tidak ada hubungan apapun.... Tidak, dia hanya atasanku... sudah Bu, aku ingin istirahat... I love you."
Bibi Jules pasti bercerita macam-macam tentang Dylan pada orangtuaku. Padahal kami tidak memiliki hubungan apapun selain sebagai atasan dan bawahan. Aku tahu, keluargaku pasti sangat menantikan aku memiliki seorang pacar, mengenalkannya pada mereka. Tapi tidak semudah itu bagiku, aku sadar aku sangat menjaga jarak dengan lelaki. Entah sudah berapa orang yang kutolak cintanya, aku merasa bersalah, namun aku tidak ingin memaksakan hatiku.
Tok! Tok!
"Rosie? Apakah kau sudah tidur?" teriak Bibi Jules dari luar kamarku.
Aku berjalan membuka pintu kamar. "Ada apa, Bi?"
"Ada tamu untukmu," ucapnya tersenyum. Tamu? Siapa tamuku? Aku juga tidak janjian dengan siapapun malam ini. Aku berjalan menuju ruang tamu dan terkejut saat mendapati Dylan Foster sedang duduk memandangku disana. Aku tersentak, aku hanya memakai baju tidur terusan sepaha, bahuku pun terbuka lebar, pakaian yang sangat tidak pantas untuk diperlihatkan didepan atasanmu.
Aku melihat mata Dylan yang berbinar memperhatikanku dengan senyumnya. Aku sigap menyilangkan kedua tanganku didepan dada. "Maaf, aku tidak tahu anda disini. Sebentar aku akan mengambil kardigan," aku berlari menuju kamarku dan mengambil kardigan yang kugantung dibalik pintu. Lalu kembali kutemui Dylan di ruang tamu.
"Ada perlu apa, Mr. Foster?" tanyaku sembari duduk di sofa yang berhadapan dengannya.
"Dylan, please. Aku hanya ingin tahu, apakah kau bisa keluar malam ini?" tanyanya lembut.
"Malam ini? Kemana? Tapi ini sudah jam 8,"
"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat, maukah kau menemaniku? Tolong jangan katakan kau tidak bisa sembarang masuk mobil orang lain, itu menyakitiku." ucapnya.
"Aku.... harus berpakaian seperti apa? Aku tidak memiliki baju yang bagus," tanyaku saat mataku menyadari bahwa ia memakai setelan mewahnya.
"Jangan khawatir, aku sudah menyiapkannya." Ia meraih sebuah bungkusan dengan merk terkenal dan menyerahkannya padaku. "Ini, pakailah."
"Mr. Fos... ah, Dylan, kau memberikanku sebuah Hermes dan sekarang ini? Aku tidak bisa menerimanya, terlalu mahal." tolakku.
"Aku tidak ingin mendengar penolakan malam ini, tolong turuti aku." ucapnya tanpa berkedip. Mata itu menghipnotisku sehingga aku hanya mengiyakan dan masuk kedalam kamarku untuk bersiap-siap. Aku memoles wajahku dengan make up tipis tapi tidak pucat, gaun velvet warna navy selutut dan tanpa lengan itu telah menghiasi tubuhku. Ya, walaupun aku jarang berolahraga, untungnya tubuhku masih tetap terawat sehingga tidak memalukan ketika diberi pakaian seperti ini. Aku keluar kamar dan Dylan berdiri melihatku, ia terpana.
"Bisakah kita pergi sekarang?" ucapku memecah keheningan. Dylan tersadar dari lamunannya dan menuntunku keluar. Sebelumnya ia meminta ijin dulu kepada Bibi Jules. Kami pun masuk kedalam lift untuk menuju ke lantai bawah apartemen. Aku merasakan suasana canggung didalam lift, namun kubiarkan saja. Sesampainya di parkiran, ia membukakan pintu mobilnya untukku, lalu ia memutar dan masuk kedalam kemudi. Ia menjalankan mobilnya dengan santai, aku masih tidak tahu kemana ia akan membawaku pergi, aku tak berani bertanya.
Kami tiba di sebuah gedung putih besar nan mewah yang memiliki pilar tinggi didepannya. Terlihat banyak orang yang masuk kedalam gedung tersebut dengan pakaian mewahnya. Kami masuk kedalam dan ada sebuah aula yang megah, aku memperhatikan sekeliling dengan takjub. Dylan mengatakan bahwa ini adalah acara lelang, dimana mereka akan menyumbangkan dana hasil lelang untuk kegiatan amal. Aku menaruh simpati dengan sikapnya yang ternyata cukup baik. Ia mengenalkanku pada beberapa orang, ia menyebutku 'teman wanita'-nya. Aku tak menerima namun tak menolaknya juga.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya padaku yang terlihat gelisah di kursi yang kami duduki.
"Aku... ingin ke toilet." jawabku polos. Ia tertawa dan itu membuatku salah tingkah. "Kenapa kau tertawa?"
"Kau lucu. Ayo, aku antarkan kau ke toilet." Ia berdiri meraih tanganku dan aku mengikuti langkahnya sampai di toilet. Ia membiarkanku masuk dan menungguku diluarnya. Setelahnya, aku keluar dari toilet sambil menunduk merapikan gaunku, tanpa sadar aku menabrak seseorang dengan tubuh tegap.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya sambil menatapku. Pria dengan setelan jas abu-abu itu memegang kedua bahuku untuk menahanku terjatuh.
"Ti-tidak apa-apa. Maafkan aku karena tidak melihat anda," jawabku. Pria itu tampan dengan mata birunya yang terus menatapku, aku langsung menggelengkan kepalaku untuk sadar dari lamunanku.
"Kau yakin? Maaf, aku juga tidak melihat dengan baik. Kau sendirian?" tanyanya.
Dylan datang dan menarikku dari si pria tadi. "Dia bersamaku, Mr. Miles." aku bisa melihat cara Dylan menatap pria itu dengan rasa tidak suka.
"Ah, Mr. Foster. Kudengar kau menetap di Manhattan saat ini," ucapnya. Ia tersenyum pada Dylan lalu mengarahkan matanya padaku. "Wanitamu, Mr. Foster?"
"Ya. Perkenalkan, Rosalie Stone. Dan ini, Mr. Miles, Rosie." ucap Dylan mengenalkan kami berdua. Aku menjabat tangan Mr. Miles dan tersenyum padanya.
"Ricky Miles, Miss Stone. Senang berkenalan denganmu," balasnya tersenyum, lalu ia melihat Dylan. "Dan senang juga bertemu lagi denganmu, Mr. Foster."
"Baiklah, kami permisi dulu." ucap Dylan sambilmenarikku kembali ke aula. Aku hanya menganggukkan kepalaku pada Mr. Milessebelum pergi. Aku menyadari dirinya yang terus menatapku dengan senyum saat aku menjauh.
YOU ARE READING
D for Destiny
RomanceBeberapa part utk usia 21th keatas. Namaku Rosalie Stone. Aku berasal dari Vancouver, Canada. Sebenarnya, aku sama sekali tidak memiliki darah Canada, namun orangtuaku melahirkan dan membesarkanku disana. Saat aku menginjak usia 22 tahun, aku pergi...