"CIUMAN PERTAMAMU DENGAN DYLAN FOSTER?!!" teriak Lily saat kami berada di sebuah mall untuk berbelanja.
Aku menutup mulutnya dengan tanganku segera, "Apa yang kau lakukan? Kau membuatku malu, Lily. Ini tempat umum." ucapku kesal.
Lily memberi kode bahwa dia mengerti dan memintaku untuk melepaskannya, "Sorry, too excited, Dear. You know I'm so happy to hear that, your first kiss! He's a Foster, Rosie. You got the hottest man in Manhattan,"
"Well, actually he's the hottest man in Vancouver, Manhattan, and England. He's the hottest man I've ever seen, Lily." balasku yakin. Memang begitu kenyataannya, Dylan Alexander Foster adalah lelaki paling tampan dan seksi yang pernah kutemui dalam hidupku. Dan kurasa hatiku sudah jatuh padanya. "Kau tahu, aku selalu membayangkan bagaimana ciuman pertamaku, dengan orang yang seperti apa, yang pasti kuharap ia tidak botak, hahaha. Lalu aku bertemu dengannya, hatiku sesak saat didekatnya, kau tahu lah seperti apa."
"Dan sekarang kau sudah menemui jawabannya, kan? Kau mendapatkan lelaki yang sangat jauh dari bayanganmu sebelumnya. Ah, aku sungguh iri," ucap Lily sambil memasang muka sedih.
"Hei, kau sudah punya Cody, dia lelaki baik dan berusaha memberimu apapun." balasku menghiburnya.
"Tapi Cody tidak pernah memberiku Hermes edisi terbatas, Rosie." ucapnya merengut. Aku hanya tertawa kecil, lalu mengingat kembali hadiah yang diberikan Dylan saat ulangtahunku. Tas tersebut masih kusimpan dengan baik didalam lemari, aku terlalu takut untuk memakainya, takut merusaknya. "Ayo kita berbelanja lagi, aku perlu membeli sepatu baru untuk kencan makan malamku dengan Cody jumat malam nanti,"
Aku tersenyum dan mengikuti kemana Lily pergi. Satu-satunya sahabat yang kupunya di Manhattan, aku mengenal beberapa temannya namun tidak dekat. Kami memilih beberapa sepatu untuk dicoba dan pada akhirnya aku jadi ikutan membeli sepatu karena Lily terus meyakinkan bahwa sepatu itu sangat cocok di kakiku. Kami pun menuju ke kasir untuk membayar belanjaan kami.
"Maaf, Miss Stone. Sepatu tersebut sudah dibayar," ucap pegawai kasir tersebut dengan tersenyum. Aku dan Lily saling bertukar pandang. Bagaimana dia bisa tahu namaku? Dan siapa yang membayarnya? Kami bahkan baru selesai memilih.
"Darimana anda tahu namaku? Dan siapa yang membayarnya? Anda pasti salah mengecek," ucapku dengan heran padanya.
"Mr. Foster yang membayarnya, Miss Stone. Dan anda bisa mengambil apapun yang anda mau," jawabnya dengan senyum. Aku tercengang. Namun wajah Lily berkata lain, ia sangat kegirangan dan berusaha menahan dirinya untuk tidak loncat-loncat didalam toko tersebut.
"Aku akan dengan senang hati mengambil apapun yang aku mau!" Lily berseru sambil kembali menuju susunan sepatu-sepatu di rak yang mewah, ia mencoba sepatu dengan berbagai macam model tanpa harus memikirkan harganya. Aku masih terpaku didepan meja kasir. Memikirkan bagaimana menyampaikan hal ini pada Dylan. Namun satu yang kulupa, aku tidak memiliki nomor ponsel Dylan, hanya dia yang memiliki nomorku tapi ia bahkan tidak pernah menghubungiku. Ah, lelaki itu!
"Maaf, apakah kau punya nomor Mr. Foster? Aku lupa menyimpannya sehingga tidak ada di ponselku, aku perlu menghubunginya," ucapku beralasan. Pegawai itu mengatakan bahwa ia tidak memiliki nomor Dylan, namun ia memberiku sebuah amplop cokelat dan aku pun menerimanya dengan bingung.
I hope you enjoy your time. Choose the right shoes, and it will takes you to the right place. D.
Begitulah tulisan yang tertera di secarik kertas didalam amplop tersebut. Dan aku juga menemukan sebuah kartu nama milik Dylan disana, aku segera mengambil ponselku dan mengetik nomor Dylan.
"Halo?.... Kenapa kau melakukan ini?..... Dylan, aku tidak menginginkan uangmu, sudah cukup dengan Hermes itu.... Bukan, aku bukan membencinya, aku hanya tidak suka kau melakukan hal seperti ini.... What? Wait, Dylan?!"
**
Aku menatap penthouse mewah didepanku saat ini. Dylan menyuruh Oliver menjemputku setelah selesai belanja tadi dan membawaku ke tempat Dylan tinggal. Oliver membantuku masuk lift dan memencet angka 95. Gedung ini sangat tinggi, pikirku. Lift terbuka dan aku sudah berada didalam apartemen yang ku yakini milik Dylan. Aku masuk namun tak menemukan siapapun. Aku berjalan pelan, ku susuri ruangan-ruangan didalam apartemen tersebut sampai akhirnya mataku menemukan sosok Dylan di sebuah sofa. Ia tersenyum melihatku datang. "Rosalie Stone, kau datang." ucapnya sambil berjalan menghampiriku.
Aku melihat botol minuman keras di mejanya, ia pasti mabuk. "Apa yang kau lakukan, Dylan? Kenapa kau mabuk?" tanyaku.
"Aku... menyukaimu, Ros...." Lalu Dylan ambruk di pelukanku. Aku kaget dan merasa sulit menahan berat badan Dylan, perlahan aku membawanya kedalam kamar, aku membaringkannya dan menyelimutinya. Aku mengecek suhu tubuhnya dan ternyata aku tidak salah, aku sudah merasa tubuhnya sangat hangat saat ia ambruk tadi.
Aku memberi kompresan di kepalanya. Setiapbeberapa menit sekali aku mengecek suhu tubuhnya, memandangi wajah priayang terbaring didepanku ini. Aku mendekatkan kursi yang ku duduki ke sampingranjang agar aku dapat lebih jelas melihatnya. Dan aku tak bisa membohongi dirikusendiri, aku menyukai Dylan.
YOU ARE READING
D for Destiny
RomanceBeberapa part utk usia 21th keatas. Namaku Rosalie Stone. Aku berasal dari Vancouver, Canada. Sebenarnya, aku sama sekali tidak memiliki darah Canada, namun orangtuaku melahirkan dan membesarkanku disana. Saat aku menginjak usia 22 tahun, aku pergi...