Bagian 1 : Ledakan

13.5K 825 65
                                    

Veni, Vidi, Vici, ungkapan yang digunakan oleh Julius Caesar salah satu Jenderal Romawi kuno yang berarti "Aku datang, aku lihat, aku menang". Iya, aku sudah datang untuk melihat dan untuk merasakan kemenangan di kota dengan sejarah Romawi kunonya yang terkenal. Kemenangan untuk diriku sendiri yang menyukai berkelana. Pria yang sangat menyukai berkelana.

Setahun lalu saat aku merencanakan akan melakukan perjalanan keliling Eropa, beberapa teman dan keluarga sempat melarangnya. Aku sedang naik daun katanya, jangan disia-siakan. Tapi bagiku, perjalanan ini sangat penting. Aku sudah menghentikan perjalanan yang ku sukai untuk lima tahun berkarya. Saat ini aku membutuhkan waktu untuk membahagiakan diriku sendiri. Bukan berarti aku sedang tak bahagia, hanya saja aku ingin mencari dalam diriku sendiri, ada sebuah lubang yang kecil namun cukup membuatku hampa. Aku ingin mengetahuinya, ada apa dengan diriku sendiri.

Sebelumnya, aku sudah berkelana ke Turki, Istanbul - Goreme (Cappadocia) selama 4 Hari. Turki, negara bagian di Timur Tengah itu sangat termasyhur dengan desain bangunan-bangunan khasnya yang megah nan mewah. Tak hanya itu, Turki menjadi sebuah negara yang banyak sekali merekam jejak sejarah peradaban di dunia. Sejarah - sejarah besar banyak sekali terukir di kota itu. Meski kini Turki menjadi negara dengan mayoritas agama Islam, seperti yang banyak diceritakan bahwa Turki banyak menyimpan sejarah agama Kristen pula. Dan kalimat awal yang kukatakan, Julius Caesar ternyata mengucapkannya di bagian Black Sea atau laut hitam di bagian Turki saat Caesar mengalahkan Pontus.

Lantas aku akan menemukan kemenanganku setelah mengalahkan rasa yang membelenggu pada diriku, aku akan menemukan jawaban yang tepat atas keresahan diriku sendiri. Dan ternyata tempat itu bukan di Turki.

Kisah yang paling menyentuh dalam perjalananku baru akan dimulai sekarang. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 12.30 saatnya bersiap untuk keberangkatanku dari Kayseri Airport - Goreme menuju Sabiha Gokcen - Istanbul untuk transit dan berlanjut kembali menggunakan Pegassus Airline menuju Rome, Italy.

Membutuhkan waktu sampai dengan 5 jam agar tiba di bandara Fiumicino Airport. Dan selama perjalanan, aku membuka notebookku, menuliskan setiap perjalanan yang telah ku lalui, takut-takut ada sebuah kejadian yang tak mampu teringat oleh memori otakku.

Namun tulisanku harus terhenti saat pramugari pesawat mengingatkan untuk memasang sabuk pengaman lagi karena pesawat akan segera mendarat. Kututup segera notebookku, dan memasukkannya kedalam tas punggung yang sengaja ku letakkan di kolong kursi. Kemudian, aku meraih topi trapper yang kupangku sedari tadi untuk ku kenakan kembali agar melindungi daun telingaku yang besar ini agar tidak kedinginan saat harus bertempur apabila salju tiba-tiba saja turun. Topi ini berhasil membuat rambutku tak terlihat sedikitpun kecuali bagian depan yang sengaja ku panjangkan sedikit agar mirip dengan actor Korea yang sedang ngetren belakangan ini baik di Negaranya maupun Negaraku sendiri, Indonesia. Tapi setelah ku pikir lagi, aku bahkan lebih tampan dari mereka, atau mungkin aku memang lelaki tertampan di dunia versi ibuku. Ah, lupakan.

Begitu keluar dari gate langkah kakiku segera menyusuri tempat baggage claim untuk mengambil koper dan segera ku ikuti petunjuk arah yang menunjukkan letak kereta metro- transportasi yang akan mengantarku dari bandara menuju hotel.

Satu hal terlewatkan tentang bandara ini, Bandara Internasional Fiumicino adalah bandar udara terbesar di Italia. Bandara ini terletak di Fiumicino dan melayani kota Roma. Namanya diambil dari Leonardo da Vinci, siapa yang tak pernah mendengar nama tersebut? Aku rasa tidak ada. Leonardo terkenal karena lukisannya yang piawai, seperti Jamuan Terakhir dan Mona Lisa. Lantas apa aku ingin namaku dikenang seperti beliau? Tentu. Satu-satunya keinginan hampir semua orang yang pada kenyatannya sulit diwujudkan. Aku ingin banyak orang mengenalku melalui karyaku.

Kini langkah kakiku telah sampai di sebuah hotel dekat Vittoria Emannuelle Metro Station, dan nyatanya aku masih merasakan kehampaan, bukan karena aku berkelana sendirian. Namun karena aku belum menemukan jawaban atas pertanyaan diriku sendiri. Dan aku tidak berharap pertanyaanku segera terjawab, karena aku ingin menikmatinya.

Ku baringkan tubuhku sejenak ketika sampai didalam kamar dengan kasurnya yang berukuran double, sengaja kupesan itu untuk menikmati tidurku yang mempunyai kebiasaan tidak bisa diam disatu posisi saja. Namun kenyamanan itu terhenti begitu sebuah ledakan hampir saja memecahkan gendang telingaku.

Beberapa menit kemudian suara alarm di hotel terdengar dengan sangat kencang menghentikan lamunanku yang terlalu shock untuk bereaksi. Kuusap wajahku sembari mengucap istigfar, jangan-jangan ini teguran karena aku lupa mengucap salam saat baru saja memasuki kamar. Namun beberapa menit kemudian lagi-lagi aku mendengar kegaduhan yang bersautan dengan alarm yang masih terus berbunyi.

Rasa penasaranpun segera membangunkan tubuhku untuk segera melangkah keluar kamar. Dan seketika jantungku berdegup lebih kencang melihat kekacauan tepat didepan kamarku, ketika semua orang berlarian keluar dari kamar masing-masing, entah dengan pakaian rapih atau bahkan pakaian yang tidak bisa dijelaskan demi etika dan sopan santun.

Tiba-tiba seseorang menarik tanganku. Seorang pria bertubuh tinggi besar menggengam tanganku erat seolah menyeretku untuk pergi dari tempatku berdiri saat ini juga. Dan dengan kesadaran yang nyaris hilang, aku mengikuti langkahnya dan langkah ramai orang-orang turun menggunakan tangga darurat.

Siapapun tak menjelaskan apa-apa padaku, namun dengan melihat raut wajah mereka dan kecepatan langkah kaki mereka, aku tau situasi saat ini sedang tidak baik-baik saja. Dan hingga kini kami semua sudah benar-benar berdesakkan di tangga darurat, satu persatu orang masuk melalui pintu dari lantai demi lantai yang kami lewati. Ada angka 5 yang kulihat di dinding saat kakiku terus melangkah menuruni tangga, itu tandanya aku telah melewati 6 lantai dari lantai kamarku. Aku tak pernah membayangkan ini benar-benar terjadi padaku. Apa yang sebenarnya terjadi? Dimana ketenangan yang ku inginkan? Dimana-

Duar!!!

Yang terakhir aku lihat, kami terpental entah kemana persis setelah suara ledakan itu kembali terdengar ditelingaku. Suaranya sangat dekat, seperti persis meledak didepan mataku. Dan setelah itu...

...aku melihat kegelapan.

***

Bagian 01 - Published, Jakarta, 01 Juni 2017.

You Only SeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang