Bagian 9 : Berpisah

1.3K 109 13
                                    

Bagian dari kehidupan adalah meninggalkan atau di tinggalkan. Bagian menyakitkan dari keduanya adalah tidak ada kebahagiaan yang menjadi bagian dari keduanya. Jika meninggalkan adalah sebuah pilihan, bagaimana dengan ditinggalkan? Apakah adalah sebuah penerimaan yang harus di iklaskan?

Kisah ini mungkin juga tentang bagaimana aku bisa menemukan setelah kehilangan. Harusnya seperti itu. Mungkin kah aku akan menemukan atau kembali kehilangan?

Katanya,

Pria itu sejatinya kuat. Pria itu sejatinya harus bertanggung jawab. Pria itu sejatinya mampu menahan amarah. Pria itu sejatinya tidak boleh menangis. Pria itu sejatinya memperlakukan lembut seorang perempuan. Pria itu sejatinya tidak meninggalkan. 

Lantas sebaliknya, apakah pria pantas untuk ditinggalkan?

Holds door for ladies. Pulls out chairs. Mandatori menjadi pria sejati.

Menjadikan seorang perempuan pusat dari dunianya. Memberikan seluruh waktu dan selalu mendengarkan semua keluh kesah.


Tapi memang benar, semua hal tersebut jika di lakukanpun, sesuai dengan mandatori masih ada sistem yang mampu eror. Membuat semua mandatori tersebut menjadi sia-sia.

Cekrek.

"Bagus juga restaurant-nya." Seorang perempuan yang duduk di hadapanku baru saja memotret atap dari restaurant yang sekarang aku kunjungi. 

Aku mengangguk sekali. 

"Ah, dunia ini emang sempit. Aku gak nyangka ketemu kamu di Milan!" senyuman itu masih sama seperti 20 tahun lalu saat aku mengenalnya.

Aku mengangguk sekali.
Ah, Milan. Ya, aku sudah di Milan. 

"Kamu mau pesan apa?" tanyanya menyodorkan buku menu. "Ah, tapi gak ada rendang ya." tawanya.

Aku meraih buku yang ia sodorkan padaku. Kemudian membalik-baliknya dengan sangat lamban.

"Pizza Napoletana? Limoncello?" tanyanya menatapku.

Aku segera menegakkan pandanganku, "Limoncello? What alcohol is in limoncello?" kataku sembari membulatkan kedua mataku.

"Okay, Aku gak pesan itu." Katanya menggulum bibirnya. Kebiasaannya jika aku selalu melarangnya untuk melakukan beberapa hal. "2 gelas mineral water then." katanya sembari menaikkan sebelah alisnya.

Ia kemudian mengangkat tangannya segera, memanggil pelayan, memesan dua 1 pan pizza napoletana, 1 Tiramisù, 2 mineral water. Hanya itu. 

"Tempatnya sesuai dengan di website, bagus." Katanya sembari kembali melihat ke sekeliling. "Kalau di Jakarta buat restaurant ini lucu juga. Nàpiz." Katanya menyebut nama restaurant yang saat ini kami kunjungi. 

Kali ini aku ikut memandangi interior di dalam restaurant. Dari pintu masuk yang cukup kecil, kami melewati sebuah lorong seperti gua untuk masuk kedalam. Suasananya nyaman dan tenang, temboknya beberapa sisi menggunakan bebatuan, dan sisi lainnya rata di cat berwarna hijau dan orange terang. Dihiasi banyak sekali bingkai foto dengan kekentalan Italia. Atapnya dihiasi lampu neon berwarna orange senada dengan suasana yang ingin di ciptakan di dalam.

Pesanan kami datang. Ukuran ke dua makanan yang kami pesan cukup kecil, tidak terlalu besar dan seharusnya cukup untuk 1 orang saja. Namun akan berbeda dengan perempuan yang ada di depanku. 

Ia meminta pelayan untuk meletakkan satu piring kosong lagi, kemudian membagi pizza itu menjadi dua. Makannya memang sangat sedikit. Sangat. 

180 derajat Pizza Napoletana dengan tomat dan keju mozzarella diatasnya mampu aku lahap hanya dengan dua kali suapan. Sedangkan di hadapanku, ia masih saja memotretnya. 

You Only SeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang