Bagian 7 : Bersama

3.4K 404 65
                                    

Kebaikan adalah hal yang bisa didengar orang tuli dan bisa dilihat oleh orang buta.

**

Sebuah notebook usang dengan beberapa file yang berada di layar desktop satu persatu ku buka. Salah satu file microsoft word berjudul 'The Journey' membuat jemariku tertarik untuk segera membukanya.  

Bibirku terkunci membacanya, seperti mengenang sebuah kisah yang ku ingat dalam bayang samar. Perlahan aku mulai menelusuri tiap kalimatnya, mengingat dan terus membacanya.

Veni, Vidi, Vici, ungkapan yang digunakan oleh Julius Caesar salah satu Jenderal Romawi kuno yang berarti "Aku datang, aku lihat, aku menang". Iya, aku sudah datang untuk melihat dan untuk merasakan kemenangan di kota dengan sejarah Romawi kunonya yang terkenal. Kemenangan untuk diriku sendiri yang menyukai berkelana.

Tiba pada kalimat itu, membuatku mengigit bibir bawahku. Inikah jawaban aku ke Negara ini? Seperti mimpi yang setiap malamnya hadir. Aku memang datang kesini dengan sengaja.

Untuk melakukan perjalanan keliling Eropa, untuk membahagiakan diriku sendiri. Untuk mengetahui sebuah lubang kecil yang membuatku hampa. Aku ingin mengetahuinya, ada apa dengan diriku sendiri. Itu jawabannya.

Dan kenapa saat ini aku ada di rumah sakit ini? Sempat terbaring lemah tak berdaya dan kehilangan penglihatanku?

Dap.

Aku bisa merasakan seseorang menyentuh pundakku. Dan aku segera menengok kearah seseorang yang kini berdiri tepat disampingku. 

Dokter Adoffo tersenyum menatapku hangat, ia menarik kursi untuk duduk disebelahku, "Sudah mengingatnya?"

Aku membalas tatapannya dengan mengangguk sedikit, "Ini seperti mimpi."

"Sampai mana mimpimu mengantarkan ceritanya?"

Aku menatap pada jendela dihadapan kami, kemudian menghembuskan napas perlahan, "Aku ingat bayang tentang diriku yang berjalan melewati bandara, dan tiba di hotel. Namun setelahnya ketika tidak ada lagi tulisan yang kutulis, begitu juga mimpi itu terhenti."

"Karena kau tidak bisa menulis kisahmu, karena kejadian itu terjadi."

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku bingung. "Bagaimana keluargaku?"

Ia kembali tersenyum, "Kau ingin secepatnya pergi?"

Aku terdiam, "Bukan begitu, tapi-"

"Pergilah, lanjutkan perjalananmu." Dokter Adoffo terkekeh, "Kau sudah sehat, hanya butuh beberapa kali pemeriksaan untuk izin keluar dari rumah sakit. Keluargamu akan segera dihubungi, saat pertama kali kau masuk rumah sakit hingga saat ini, keluargamu juga terus berhubungan dengan pihak rumah sakit. Kau tidak diizinkan pulang ke Negaramu terkait pemeriksaan sebagai korban dari kelalaian pihak Hotel."

"Apa?" tanyaku bingung.

"Penjelasanku terlalu cepat ya?" tawanya. "Intinya, semua akan baik-baik saja. Ingatanmu akan segera kembali, kau akan menemukan jawabannya."

Dokter Adoffo segera bangkit dari duduknya. Ia menepuk pundakku sekali lagi dan perlahan berjalan keluar kamar.

Sedang aku masih terdiam. Pergi? Dari sini?

Aku menatap ranjang yang tak begitu jauh dari tempatku terduduk. Ranjang itu kosong, pemiliknya sedang melakukan pemeriksaan rutin seperti biasanya.

Sebelumnya, pada malam itu, saat kepalaku sakit. Tiba-tiba saja semua bayangan menyerbu kepalaku. Hingga aku harus memejamkan mataku. Dan Dokter Addofo mulai membawaku keruangannya. Dimana ada beberapa barang-barang yang katanya milikku tersimpan disana, salah satunya notebook yang ada dihadapanku.

You Only SeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang