Bagian 11 : Bertemu

725 88 9
                                        

Terkadang, ketika angin berhembus diam-diam. Berbisik ditelinga, sembari menertawakan kebodohanku. Aku hanya bisa bersyukur bahwa aku masih bisa hidup. 

Namun kini suara angin itu berbeda. Ia terdengar lembut dan bersahabat. Biasanya, angin ini datangnya tak terduga. Bersamaan dengan langkah kaki orang lain. Perlahan, namun nyata.

Ketika aku melihatmu, aku malah meneteskan air mata.


******

******

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Saat itu, ketika mata tak lagi mampu melihat
Dan kedua kaki tak mampu lagi melangkah
Serta suara yang hilang tak lagi terdengar
Aku tetap bisa merasakan segala hal, karenamu

Ketika langit pagi tak lagi cerah
Saat dunia bagiku hanyalah kegelapan
Disanalah aku ingin merasakan kehadiranmu
Tak lagi ku rindu pada keramaian

Ketika kau lelah karena kerinduan yang kau tahan
Aku masih memiliki kedua tanganku
Genggamlah tanganku
Bersama-sama bertahan melalui hari

Terlalu berat untuk sendirian
Terlalu mudah untuk menyerah
Terlalu indah untuk di lupakan
Terlalu menyakitkan jika di ingat


Tapi aku sampai saat ini masih baik-baik saja
Sampai saat ini aku bisa melewatinya

tta ta tta ta tta 
tta ta tta ta tta
tta ta tta ta tta

Andai kau tahu, aku bisa melaluinya
Karena bukan aku yang kuat
Tapi karena kamu yang mampu

Menatap masa depan dalam kegelapan nan indah
Berteman dengan gelap tak lagi menakutkan
Karena kamu berikanku indahnya kegelapan
Sesuatu yang tak mampu ku lihat dengan mata terbuka.

Hanya kau yang melihatnya.

Sampai bertemu lagi.
Sampai aku menemukanmu.

tta ta tta ta tta.


*****


"Wah Nizam! Ceritain sedikit dong kisah dari lirik lagu itu tentang apa?"

Saat ini, aku berada di sebuah ruangan dengan kaca besar disekeliling sebagai batasan.
Di hadapanku telah ada sebuah alat yang terbilang sangat penting. Kenapa, karena output dari ruangan ini adalah audio, sehingga jika tidak ada alat ini, maka tidak akan ada siaran. 

Ada beberapa macam istilah untuk salah satu benda yang ada di hadapanku ini, ada yang mono dan stereo, berkaki dua dan empat, basic dan wireless, classic dan modern, untuk rekaman hingga yang sering dipake tukang bakpau keliling. Microphone.

Benda yang ada di hadapanku ini sudah berteman denganku sejak di bangku menengah atas, saat Band sekolahku di undang ke salah satu radio yang terkenal di Jakarta. Saat itu rasanya sangat menegangkan. Tanganku dingin, dan kakiku tak mampu diam. Teman-temanku tak jauh berbeda.

Bahkan saat pertanyaan pertama muncul, aku hanya terdiam. Takjub dengan isi ruangan, takjub bahwa aku bisa ada di dalam ruangan. Meskipun hanya beberapa belas menit, rasanya seperti setahun, dan seperti memenangkan mendali emas, bukan mewakili sekolah, melainkan mewakili Negara. Berlebihan memang.

You Only SeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang