Bagian 5 : Melihat

2.6K 414 26
                                    

Besok, perban yang melekat dikedua mataku akan dibuka. Itulah yang ku ingat saat kunjungan dokter Addofo pagi tadi. Aku bahagia? Tentu tak perlu ditanyakan. Juga sedih, jika nantinya kedua mataku terbuka, tak ada lagi yang bisa diceritakan oleh Tania, perempuan yang menggantikan penglihatanku selama ini.

Setelah setiap harinya ia selalu melaporkan apa saja yang ia lihat melalui jendela kamar disebelahnya, tentang burung-burung yang berterbangan dan hinggap dijendela, tentang ramai-ramai pasien berjalan ditaman bawah, tentang langit yang biru dengan awan yang terkadang membentuk banyak rupa. 

Aku akan melihat dengan kedua mataku sendiri. Apakah langit yang diceritakannya seindah seperti yang ia ucapkan, apakah senyum para pasien seramah yang ia katakan, semua itu akan berbeda jika aku bisa melihatnya.

Tapi jika harus memikirkan semua itu, yang terlintas dikepalaku adalah, akhirnya aku bisa melihat perempuan dengan suara indah yang menghuni kamar sama denganku, Tania.

Ia juga terdengar bersemangat saat tau perbanku akan segera dibuka, ia mengucapkan selamat dengan tawanya yang renyah. Tidak apa jika kamu tidak bisa menceritakan apa yang kamu lihat, biar aku terus mendengarkan cerita lainnya. 

Siang ini, ia terdengar sedikit kehilangan tawanya. 

"Allahumma Rabbannasi adzhibil ba'sa isyfi antasyafi la syifa'a illa syifa'uka syifa'an la yughadiru saqaman,"

Aku sering mendengar doa ini ketika terbangun dari tidurku,  dan kini Tania masih membacanya.

"Apa artinya?" tanyaku.

"Aisyah RA, berkata: Nabi SAW berziarah kepada salah seorang keluarganya yang sedang sakit, maka ia mengusap-usapnya dengan tangan kanan sambil membaca itu, artinya: Ya Allah Tuhan dari semua manusia hilangkan segala penyakit, sembuhkanlah, hanya Engkau yang dapat menyembuhkan, tiada kesembuhan kecuali dari padaMU, sembuh yang tidak dihinggapi penyakit lagi."

"Doa apa lagi yang kau tau?"

"Banyak, sangat banyak. Seperti doa-doa agar dukaku hilang. Terkadang, ketika aku sakit sulit sekali untuk tidak menangis, jadi aku selalu bilang pada diriku sendiri, semoga penyakit ini menjadi pencuci dari dosa-dosa. Insya Allah."

"Aku tak pernah mendengar kamu menangis," heranku.

"Aku menangis dalam diam. Kamu akan terkejut jika tau sudah berapa lama aku disini, dulu tangisanku meraung-raung, tapi kini tidak lagi."

"Kenapa? Karena sudah tidak sakit? Karena sebentar lagi kamu akan sembuh?" tanyaku.

Dia tak menjawabnya. Aku mendengar ia meraih secangkir gelas, kemudian suara tegukannya terdengar keras.

"Kamu ingat masa lalumu?" ia beralih bertanya padaku. 

"Ingat, beberapa tahun  dari saat ini. Ingatanku terhenti saat aku berdiri disebuah panggung yang besar. Aku bertanya-tanya, siapa diriku saat dewasa, tapi aku belum berhasil menambah ingatanku."

"Tapi ada kemajuan yang cukup pesat, aku senang mendengarnya."

Aku juga senang, perlahan ingatanku seperti kembali dalam mimpi-mimpi di tiap tidur. Terkadang sulit untuk membedakan mana masa lalu atau mana hanya mimpi. Namun lama kelamaan aku bisa membedakannya.

"Apa yang kamu lakukan diatas panggung?" tanyanya lagi.

"Entah, aku berdiri disana dengan sorot lampu yang sangat menyilaukan kedua mataku. Aku memegang sebuah mic. Aku tersenyum senang, dan kemudian ingatanku terhenti."

"Mungkin kamu penyanyi," tebak Tania.

"Atau seorang pembawa acara? Atau seorang motivator?" Huh, aku menghela nafasku, "Banyak sekali pekerjaan yang bisa dilakukan diatas panggung."

You Only SeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang