DIBUNUH JAM TERBANG YANG PADAT

17.6K 2.6K 307
                                    

Pekerjaan berisiko tinggi. Tapi begitulah, semakin tinggi tingkat risiko, semakin serius hubungan yang terjalin. Tak ada waktu untuk bermain-main. Kesadaran itu akan membawa hubungan lebih serius. Hidup bersanding bersama airman, terjamin kesejahteraannya. Kebutuhan selalu tercukupi dengan kadar di atas rata-rata.

Jika keadaan sudah mapan, tidak ada lagi yang ia tuju, maka pelaminan adalah satu-satunya tempat yang dituju. Tahap itu bisa dikatakan sebagai tahap yang mapan dan tidak lagi dipenuhi keraguan. Sebab, pilot selalu membutuhkan rumah agar tak kelabakan dibunuh jam terbang yang begitu padat. Untuk itu, dia ingin segera berbagi cerita dan kebahagiaan bersama belahan jiwa. Satu-satu yang mengkhawatirkan adalah jika pernikahan tak kunjung digelar lantaran pekerjaannya yang sangat padat.

"Hubby," lirih Ilyana sore itu yang bersandar manja di dada Mega, ketika mereka bersantai di ruang tamu.

"Hmm," gumam Mega menyahut.

Letihnya masih terasa, pagi hari ia baru sampai di rumah. Istirahat sebentar lantas sorenya datang menemui Ilyana yang sudah merengek kangen.

"Aku lapar, cari makan yuk!" ajaknya menegakkan tubuh.

Mega mengusap wajahnya lemas, matanya sepet, tengkuknya kaku, dan punggungnya pegal. Rasanya ingin seharian bermalas-malasan di tempat tidur, meregangkan otot yang kaku karena sepekan penuh bekerja dan berkonsentrasi membuatnya stres. Atau memanjakan tubuh dengan pijat terapi. Tapi keadaan belum mendukung, dia harus segera menyelesaikan persiapan pernikahannya.

"Ya sudah, ayo! Bawa sekalian undangannya, kita sebarkan hari ini," titah Mega seraya bangkit dari duduknya.

"Oke."

Dengan semangat yang membara, Ilyana berlari masuk mengambil tas dan undangan yang ingin dibagikan ke calon tamu di acara resepsi mereka nanti. Mega ke luar rumah, menunggu Ilyana di pelataran. Ketika ia ingin membuka pintu mobil, sebuah mobil hitam terparkir di belakang mobilnya.

"Mau ke mana, Li?" tanya David keluar dari mobilnya.

"Mau ngantar undangan, Om." Mega menghampiri David, mencium tangannya hormat.

"Oh, kamu libur berapa hari?" David merangkul bahu Mega, mengajaknya ke teras.

Sembari menunggu Ilyana, mereka duduk di kursi rotan, mengobrol membahas rencana pernikahan dan resepsi. Mega dan David terlihat sangat akrab, berbincang santai diiringi canda tawa meski membahas hal yang serius.

"Papa," sapa Ilyana dari ambang pintu menjinjing dua paperbag berisi undangan.

Mega berdiri, dengan sigap meminta dua paperbag itu dari tangan Ilyana.

"Pa, kami mau sebar undangan dulu ya?" pamit Ilyana menjabat tangan David dan menciumnya.

"Iya, hati-hati," pesan David mengantar Ilyana dan Mega sampai di depan teras.

Mereka masuk ke mobil, segeralah Mega menyalakan mesin mobil.

"Om, kami berangkat dulu," pamit Mega bersiap menjalankan mobilnya.

"Hati-hati, Li. Jangan ngebut," pesan David.

"Iya, Om. Assalamualaikum," ucap Mega melajukan mobilnya pelan.

"Waalaikumsalam," jawab David masih terdengar Mega.

Mobil Mega ke luar melewati gerbang, dengan kecepatan rata-rata ia membelah padatnya jalan di sore hari, bersama pujaan hati. Ilyana tak bosannya selalu menatap wajah tampan yang beberapa hari sudah sangat ia rindukan.

"Jangan menatapku begitu, Love. Grogi nih," tegur Mega salah tingkah tanpa menoleh Ilyana yang masih serius memerhatikan lekuk wajahnya yang lelah.

PANGERAN BURUNG BESI (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang