[5] Abu-Abu

465K 32.4K 1.6K
                                    


“Gue boleh tahu nomor handphone lo?” pinta Malik yang sukses membuat Dara menahan nafasnya, saking terkejut. Begitu pula semua orang di kantin yang sejak tadi memperhatikan mereka.

“Lo nanya pertanyaan yang sia-sia!” kesal Dara. “Sekarang lo bisa pergi.”

Lagi-lagi Malik tersenyum menanggapi jawaban dingin Dara. “Itu artinya, lo mau gue cari tahu sendiri, kan?” Ia mengambil kesimpulan sendiri, kemudian mengangguk. “Menarik. Lo satu-satunya cewek yang bikin gue harus usaha buat dapetin nomor hp seseorang.”

Dara kehabisan kata-kata. Ia sama sekali tidak meminta Malik untuk berusaha sendiri mencari tahu nomor handphone-nya. Namun cowok itu justru mengartikan demikian.

“Sampai ketemu lagi, Dara Manisku.” Setelah melemparkan senyumnya, Malik berbalik pergi meninggalkan kantin, diikuti teman-temannya. Ia membuat seisi kantin bersorak nyaring mendengar panggilan manisnya untuk Dara.

Dara langsung jatuh terduduk di tempatnya semula. Ia menahan malu sejadi-jadinya saat ini. Ia tidak habis pikir. Cowok itu percaya diri sekali.

“Ra, kenapa lo nggak ngasih nomor hp lo? Aduh, sayang banget,” keluh Lala pada Dara.

“Iya, Ra. Tau gitu, tadi lo kasih nomor hp gue aja buat dia. Nggak apa-apa deh, gue pura-pura jadi lo biar bisa chat sama dia.” Niki menambahkan.

“Kalian udah nggak waras, ya?” kesal Dara. “Yang jelas, gue nggak mau berurusan sama cowok yang suka tebar pesona ke cewek-cewek kayak dia. Gue yakin, bukan gue aja yang lagi diincer sama dia. Dasar playboy!” Dara mengatur napasnya yang naik turun. Kehadiran Malik di kehidupannya sungguh menyita banyak emosinya.

--<><>--

Pagi harinya, Malik memasuki gerbang sekolah sambil mengamati sekitar. Banyaknya siswa siswi berseragam SMP yang juga memasuki gerbang yang sama dengannya, membuat Malik tergerak untuk mencari tahu sesuatu.

Ia tahu bahwa yayasan Gemilang tempatnya bersekolah saat ini menaungi tingkat sekolah mulai dari TK, SD, SMP hingga SMA. Maka tak heran bila semua siswa siswi dari berbagai tingkatan sekolah itu masuk melalui gerbang yang sama. Yang membedakan hanya gedung setiap tingkatan, yang berjarak beberapa meter dari gedung yang satu ke gedung yang lain. Yayasan Gemilang benar-benar luas.

Terdorong rasa ingin tahu, Malik mengikuti beberapa siswi berseragam SMP dari belakang. Ia ingin mencari tahu sesuatu di gedung SMP, gedung yang pernah menampung Manda di dalamnya.

Belum seberapa jauh berbelok menuju gedung yang dituju, seseorang menepuk bahu Malik keras-keras dari belakang, membuatnya sedikit terlonjak karena terkejut.

“Lo mau ke mana?” tanya Ethan yang kini merangkul bahu Malik.

“Eh?” Malik terkesiap. “Mau ke kelas,” jawabnya asal.

“Gedung SMA masih lurus lagi. Lo udah berapa lama, sih, sekolah di sini? Masih belum hapal juga.”

“Oh,” Malik pura-pura baru sadar. Kemudian mengikuti Ethan yang mengarahkannya berbalik arah.

“Kalo yang di sana itu gedung SMP.” Ethan menunjuk gedung yang tadi hendak dihampiri Malik. “Sekolah ini memang luas banget, tapi menurut gue nggak susah hapalin tiap gedung,” lanjutnya. “Mungkin karena gue udah sekolah di sini belasan tahun, jadi berasa kayak rumah sendiri.” Ia terkekeh pelan. “Tapi, kadang bosen juga. Dari TK sampe SMA sekolahnya di sini-sini juga. Kadang teman-temannya juga itu-itu lagi.” Ethan melepas rangkulannya di pundak Malik. Ia mendadak prihatin pada dirinya sendiri.

Malik menoleh cepat. Ucapan Ethan barusan menyadarkan Malik bahwa bisa saja temannya itu tahu banyak tentang isu-isu yang beredar di sekolah ini. Terutama di SMP Gemilang, yang melibatkan adik kesayangannya.

My Ice Girl [Sudah Terbit - SEGERA  DISERIALKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang