[NAMJOON]
Hari ini aku melihatnya. Hari ini aku kembali bertemu dengannya, tanpa sengaja, tanpa berencana. Hanya melihat. Tak saling bertegur, bertanya kabar, atau mungkin berjabat tangan. Ia lewat di depanku begitu saja, seakan lupa bahwa satu tahun yang lalu kami pernah saling mengasihi satu sama lain. Ia seakan lupa, bahwa dulu kisah cinta kami banyak membuat orang-orang iri sampai berasumsi bahwa kita akan langgeng hingga kursi pelaminan.
Tapi, coba lihat bagaimana kita sekarang?
Memilih untuk berpura-pura tidak pernah memiliki itu semua. Memilih untuk melupakan dan meninggalkan kenangan yang terlampau perih untuk dijadikan memori.
Sadarkah siapa yang selalu memicu pertengkaran di antara kita? Sadarkah siapa yang selalu membuat masalah di antara kita?
Ego kita, Wan.
Aku sadar, terlampau telat untuk menyesali semuanya. Aku sadar, terlampau hancur untuk memperbaiki balok-balok yang pernah kita bangun bersama. Saling berjanji satu sama lain, bahwa nanti kita akan memiliki rumah seindah istana, tak perlu megah, cukup ada aku dan kau—mungkin akan lebih bahagia lagi jika ada Namjoon dan Seungwan kecil di dalamnya.
How sweet that moment, Wan. And I miss it.
Aku selalu kecurian pandang saat kau dengan cantiknya melenggang menuju meja tempatmu duduk sekarang. Entah siapa yang sedang kau tunggu, manikmu tak henti memandang ponsel canggih di atas meja, mencoba untuk menjauhi pandangku.
Wan, I wish I could hold your hand and promise something—I'll never leave you or let you left from my life.
Wan, it's hard to survive without you.
Wan, I was losing you.
Satu cangkir americano yang kupesan mendarat tepat di mejaku. Aku sendirian di sini. Tidak sedang menunggu atau memiliki janji untuk bertemu. Bahkan aku tak pernah berharap akan bertemu denganmu seperti sekarang. It's awkward and I never like it, Wan.
Sececap americano menyentuh lidahku. Bagaimana bisa rasa pahitnya sangat mewakili perasaanku sekarang? Terlampau pahit untuk menyadari bahwa kita sudah tidak bersama lagi. Menghancurkan ekspetasi bahwa kita akan hidup bahagia bersama selamanya.
Kau tahu aku hancur, Wan.
Kepergianmu membuatku menjadi sosok pria yang buruk. Wan, apa kamu lupa bahwa aku—Kim Namjoon—pernah sesayang itu padamu. Melakukan semua hal manis demi membuatmu senang. Mengklaim bahwa kaulah satu-satunya dunia yang kupunya. Berbicara sebesar apa aku mencintaimu tak pernah bisa diukur, bahkan dengan meteran sekalipun.
Aku mencintaimu bukan karena aku merasa sendiri atau sedang kehilangan. Aku mencintaimu karena setelah aku mengenalmu, aku sadar bahwa aku menginginkanmu menjadi bagian dari hidupku untuk selamanya.
Wan, kau harus tahu sebesar apa aku ingin mengutuk takdir yang memisahkan kita. Hidup kejam, pun juga cinta, Wan. Tak bisakah kita kembali menata ulang kemudian berjanji bahwa kita akan melawan dunia bersama? Membuktikan pada mereka bahwa kita mampu dan bisa?
Maka kembalilah, aku sangat kehilanganmu.
[SEUNGWAN]
Hari ini aku melihatnya. Duduk termenung seperti sedang memikirkan sesuatu. Ia tidak menyapaku, tersenyum ataupun menghampiriku. Mata kami saling bertemu—sedetik kemudian kita saling berpaling. Berpura-pura seakan tidak pernah saling mengenal. Namun, mataku tetap berusaha mengobservasi.
He's never changed. And I still love him, even a year past ago, butterflies in my stomach still going to fly.
Saat aku melihat kedua maniknya, aku tengah bertanya pada diriku sendiri. Mengapa kita harus berpisah dan memilih jalan sendiri-sendiri seperti ini? Bukankah ini menyakitkan?
Kita pernah saling mengasihi, pernah saling mengobati lara hati, pernah saling berjanji bahwa hidup akan baik-baik saja selama kita bersama.
Tapi, coba lihat bagaimana kita sekarang?
Hancur berkeping-keping. Berpisah dan memilih untuk melupakan satu sama lain. Berpura-pura bahwa semuanya tak pernah terjadi. Kendati dulu kita pernah memiliki mimpi yang serupa—membangun istana bersama, tak perlu megah, cukup aku dan kau, lalu Seungwan dan Namjoon kecil akan menambah kebahagiaan kita.
Aku sadar, hidup kita sudah berbeda. Visi-misi kita sudah tak sama. Mungkin mimpi-mimpi yang pernah aku dan kau bangun pun sudah diberikan pada orang lain yang lebih berhak menerimanya.
But, Joon, I still hope it's you and me in the end.
It's suck how I wish you still love me.
It's suck how I wish that your arms still mine, that arms I called as home.
Then suddenly I miss my home.
Joon, why you so close yet so far?
Aku rindu masa-masa di mana jari jemari kita saling bersatu, lalu tanpa sadar kita berbicara banyak hal bersama, tentang dunia hingga masa depan kita. How sweet that moment to remind, Joon.
Aku juga rindu masa-masa di mana kau menungguku untuk pulang. Memelukmu, menenggelamkan wajahku di depan dada bidangmu adalah hal kesukaanku, and that's all make me feels like home. Kau membuatku nyaman.
Namun kemudian aku menyadari, bahwa kita sudah tak lagi sama. Aku berhenti memerhatikanmu. Beralih untuk menatap ponsel, mempertanyakan keberadaan Kang Seulgi yang berjanji untuk mentraktirku caffé latte hari ini.
Joon, takdir itu kejam, ya?
Saking kejamnya, ia bahkan membiarkanku jatuh cinta sendirian padamu.
Aku ingin mengutuk takdir yang memisahkan kita, juga ingin kukutuk semesta yang mempersatukan kita dalam keadaan berbeda, membuatku terus menuntut bahwa hatiku masih sama, mencintaimu tanpa batas, lagi dan lagi. Merindukanmu tanpa henti, lagi dan lagi. Mengharapkan kebersamaan denganmu, lagi dan lagi. Tanpa menyadari bahwa lagi dan lagi kita dihadapkan dengan kenyataan pahit—kita sudah berpisah.
Maka kembalilah, aku masih mencintaimu.
———
Lea's fingernote:
CONGRATULATIONS WENJOON SHIPPERS! You got a fandom name!
SCIRENIOUS!
WOAAAH! FINALLY! I'M HERE FOR CELEBRATE THAT A NEW FANDOM NAME!!!! BUT SORRY IT WAS A SAD STORY. HEHEHEHEHE.
Love from Lea! Nite, good people!
#BesokSenin
KAMU SEDANG MEMBACA
Selembar Frasa Sampah
FanfictionLea's trashes ideas • Cuman ide receh yang suka muncul tiba-tiba dimana aja • BangVet & BangMoo area • Oneshot Storiette "Maaf bapuk. Please ini cuman sekedar fiksi sampah. Semoga kuat bacanya ㅋㅋㅋㅋ" 2016© Love, Lea.