Masih jelas terasa dibenakku kala Jimin pergi tanpa sepatah kata meninggalkanku sendiri di sisi jalan sepi. Sampai saat ini, aku masih merasakan perih di hati jika melewati jalanan tempat di mana Jimin menghancurkan cintaku.
Aku merasa buruk tatkala Jimin dengan bahagianya merasa sebebas itu meninggalkanku tanpa penyesalan, sedangkan aku masih mengharapkan kedatangannya untuk memohon padaku bahwa ia menyesal telah memilih untuk pergi.
Sedari awal aku tak pernah memintanya pergi, tapi tiba-tiba ia meninggalkanku seolah aku yang membuatnya tak betah berada di sisi.
Aku selalu penasaran, selalu menerka, selalu menebak, apa kesalahanku hingga Jimin tega membiarkanku sendiri.
Padahal jika kuingat lagi, selama ini hubungan kami baik-baik saja. Selalu harmonis, manis dan romantis.
Jimin seolah tak pernah kehabisan akal membuatku tersenyum dan terbang diantara langit ke tujuh.Sifat bak malaikatnya benar-benar membuatku jatuh untuk kesekian kali dan aku tidak pernah menyesal pernah terjatuh untuknya.
Tapi kali ini, aku menyesal karena membiarkan hatiku masih tetap saja terjatuh tanpa ada yang menangkap. Seolah hati ini hanya tercipta untuk Jimin seorang dan bagiku itu sedikit menyebalkan mengingat Jimin tak mau lagi menemuiku dan menganggapku rumahnya lagi.
Aku merasa dikhianati, sejujurnya. Namun sebenci apapun aku pada seorang pengkhianat, nyatanya Park Jimin selalu memiliki cara untuk membuatku memaafkannya, meski ia tak meminta. Dan aku sangat bodoh karena membiarkan hatiku lagi-lagi jatuh dengan cintanya.
Aku terlampau jauh untuk menyayangi Jimin. Tetapi lelaki itu tak melakukan hal yang sama sepertiku dan rasanya seperti berjalan sendirian di atas gurun pasir. Aku membuat jejak, namun angin menghapusnya.
Aku benci menjadi seseorang yang bertahan dan memperjuangkan.
Aku benci menjadi sosok yang terlihat lemah dan tak berdaya.
Aku benci mengetahui fakta bahwa Jimin masih meninggalkan cinta dan luka di ruang yang sama.
Aku benci karena aku sama sekali tak bisa membenci Jimin bagaimanapun caranya.
Ada banyak hal yang selalu aku khawatirkan tentangnya, tentang pola makannya, tentang jadwal kampusnya—yang sangat menyebalkan karena membuat Jimin nyaris lupa apa itu kehidupan, tentang siklus tidurnya, dan terutama tentang kopi yang menjadi musuh besarku sejak mengenal Jimin sekalipun itu adalah minuman favoritku.
Aku membenci kopi laiknya aku membenci perpisahan. Pahit. Bukan—bukan tentang masalah pahitnya, tetapi karena kopi membuatku mengingat Jimin.
Karena kopi juga, Jimin semakin kacau. Caranya mengerjakan tugas dengan bergadang semalam ditemani kopi sangatlah membuatku murka padanya. Aku masih mewajarkan jika itu terjadi satu atau dua kali dalam seminggu. Tapi tugas Jimin datang seperti biji gelang yang simpulnya dilepas, saling bergelinding dengan cepat meluncur ke bawah tanpa rem.
Aku, sebagai kekasihnya hanya bisa menemani dan terkadang membantu tugasnya agar cepat selesai. Semata-mata akupun ingin Jimin beristirahat dan menikmati waktu sendiri atau bersamaku.
Aku tak menuntut ia harus menemaniku belanja setiap minggu ataupun mengajakku pergi ke beberapa daerah yang biasa dipakai wisata. Bagiku, duduk berdua bersama Jimin, memerhatikannya mengerjakan tugas atau sama-sama sibuk membantu tugasnya sudah cukup membuatku senang.
Bahagiaku sangat sederhana.
Tapi aku juga tidak menolak jika Jimin ingin mengambil waktu refreshing bersamaku. Misalnya pergi ke toko buku berdua, melihat pemandangan kota sekian meter dari atas permukaan laut, menonton film di bioskop atau membeli dvdnya lalu kita akan menonton di rumah, membuat popcorn, atau masak bersama yang berakhir aku berjuang sendiri di dapur.
Jimin selalu bilang padaku sambil menangkup dagu di kursi bartender. "Aku cuma mau lihat istri masa depan aku kalau masak gimana, Yang."
Dan itu ia katakan nyaris setiap kali melihatku berkecimprung dengan dapur sampai bosan rasanya.Bahagiaku sangat sederhana.
Ketika kami benar-benar memiliki waktu luang, tak sedikit ia curahkan semuanya hanya untukku. Sat together at sofa while Jimin cuddling me it's enough to made me comfort. Aku selalu kecurian jika Jimin merangkulku di sofa. Dia selalu menciumku tiba-tiba, and make it as a mess kisses between us. Terkadang, jika sedang lelah, aku berakhir tertidur di dada bidangnya, dan lelaki itu tak pernah ingin beranjak sebelum aku bangun lagi. Kalaupun ia terpaksa beranjak, ia akan menggendong dan menidurkanku di atas kasur. Memberi ucapan selamat malam dan kecupan-kecupan manis di dahi, pipi, dan bibir.
Bahagiaku sangat sederhana.
Jimin itu disela kemanisannya selalu tersirat perlakuan ambigu yang membuatku berakhir mengangkang di atas ranjang. Bercinta dengannya setiap saat ia membutuhkan adalah kebahagiaan yang tak pernah aku bayangkan dalam konteks apapun. Aku bahkan tak pernah menyesal pernah melakukannya dengan Jimin. Karena bagiku itu cukup membuatku yakin, Jimin juga mencintaiku. Aku bukan wanita murahan, tolong garis bawahi itu. Aku hanya melakukannya sekali seumur hidup dengan Jimin. Oke, itu tidak sekali, Jimin selalu meminta berulang kali jika ia benar-benar penat dengan tugas. Modusnya selalu sama, ia akan mendekatiku, memelukku dari arah mana saja dan mencium apa yang terjangkau olehnya.
Lalu diam-diam dia akan berbisik ke telingaku, "Bear, i'm hungry, give your mine to me."
Sialan.
Siapa yang tidak tergoda dengan udara hangat yang menghempas ke telingaku?! Dia itu jagonya membuatku lemas dengan hal-hal seperti itu.
Aku tidak mudah tergoda sebenarnya, tapi lelaki itu sangat pandai membuatku pasrah. Dan parahnya ia selalu menggodaku dengan kata-kata manis seperti, "Sayang, aku cinta kamu," atau "Kamu yakin nggak kegoda sama aku? Udah shirtless gini nih."
Ah, menyebalkan!
Ia tahu cara menggodaku dengan membuka setengah pakaiannya, menunjukkan dada bidang dan perut ber-abs yang membuatku ingin menerjang Jimin segera.
Bahagiaku sangatlah sederhana.
Namun lagi-lagi aku harus kembali dihadapkan kenyataan. Tak ada lagi Jimin di kehidupanku sekarang. He's leave me without a clear reason.
Aku masih di sini, di jalan yang sama, menunggu Jimin kembali meski rasanya mustahil. Karena sekeras apapun aku meminta, Jimin sudah tenang hidup tanpaku, dan aku tidak mau mengganggu kehidupannya yang baru.
Kepada Jimin yang aku sayangi sepenuh hati, tetaplah tersenyum dan jangan lupa untuk berbahagia. Di sini, bersama bayangmu dalam klise foto, aku berdoa semoga Tuhan selalu bersamamu.
Rest in Peace, My Love.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selembar Frasa Sampah
FanfictionLea's trashes ideas • Cuman ide receh yang suka muncul tiba-tiba dimana aja • BangVet & BangMoo area • Oneshot Storiette "Maaf bapuk. Please ini cuman sekedar fiksi sampah. Semoga kuat bacanya ㅋㅋㅋㅋ" 2016© Love, Lea.