It's Okay

2K 293 20
                                    

!!!Trigger warning!!!

***


Jimin sudah berjalan lama. Mungkin sudah dua puluh menit. Sudah lewat tengah malam. Di jalan hanya ada beberapa mobil yang melintas dalam jangka waktu yang cukup lama. Sepi. Sungguh sepi. Tidak ada siapa-siapa di sini. Hanya ada dia dan kesepian.

Dia menatap sungai di depannya penuh minat. Lalu dia melangkah lebih dekat lagi sampai dia sampai di ujungnya.

Kenapa jantungnya tidak berdetak lenih cepat? Kenapa dia tidak takut? Kenapa dia malah merasa senang dan bahagia? Kenapa dia malah merasa sangat bersemangat? Apa yang terjadi?

Sudah diputuskan.

Jimin percaya kunci dari semuanya adalah mati. Dia percaya kematian akan membawanya pada kebahagiaan. Dia percaya dengan kematiannya semua masalah yang dia sebabkan akan hilang.

Mungkin orang-orang akan menangisinya untuk beberapa hari. Itu juga kalau ada, mungkin ibunya. Jimin ragu akan ada yang merindukannya. Lalu setelah itu, semuanya akan baik-baik saja. Setelah itu tidak ada lagi sakit hati yang mendalam. Setelah itu tidak ada lagi tawar hati yang menyiksa. Setelah itu tidak ada lagi perasaan gila yang membunuh raganya secara perlahan, menyiksanya karena dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Tidak ada penolakan.
Tidak ada fitnah.
Tidak ada dendam.
Tidak ada teman yang berkhianat.
Tidak ada benci yang tidak mendasar.
Tidak ada sakit.
Tidak ada air mata.
Tidak ada duka.

Tanpa kesia-sian. Semuanya akan baik-baik saja.

Jimin tidak bisa berbuat apa-apa sampai dia tahu sebuah jawaban. Mati. Kematiannya akan menjadi sebuah berita bahagia bagi keluarganya. Ibunya sudah tidak perlu lagi memikirkannya. Ibunya hanya perlu bahagia dan menikmati hidupnya.

Mati. Ketenangan. Jimin memimpikan itu. Kemana pun dia pergi ada suara-suara yang mencemoohnya, ada suara yang menghukumnya, menjeratnya, mencegahnya untuk tersenyum atau untuk sekedar merasa tenang.

Jadi di sinilah dia, di tepi jembatan karena dia percaya mati adalah jawaban atas semua masalahnya. Dia menatap lama arus air yang mengalir deras. Hujan yang turun lebat membuat arus airnya lebih ganas.

Semuanya akan berakhir. Semuanya akan baik-baik saja.

Jimin tersenyum kepada langit. Dia ingin berterimakasih akan kesempatan hidup yang dia punya. Dia ingin meninta maaf karena mengakhirnya seenaknya.

Jimin memejamkan matanya. Dia berusaha mengingat-ingat semua kenangan yang indah dalam memorinya. Itu semua membuatnya tersenyum. Bayangan akan ibunya yang tersenyum saat dia berhasil lolos ujian universitas terlintas. Senyum ibunya sangat cerah hari itu.

Jimin dengan perlahan menjatuhkan tubuhnya. Dia mengernyit saat perasaan mual menghampirinya. Tubuhnya terhempas ke dalam air. Tububnya membelah air. Ada rasa perih di permukaan kulitnya.

Jimin mengerang. Air bertemu dengan wajahnya. Tanpa melawan, Jimin memejamkan matanya. Dia membiarkan air memasuki rongga-rongga pernapasannya. Dia tercekik. Dia tidak bisa bernapas. Dadanya sesak tapi rasa takut tidak dirasa sama sekali.

Ah... Akhirnya. Tenang. Ini adalah damai yang dia harapkan. Semuanya akan baik-baik saja setelah ini.

Jimin merasakan sakit yang hebat di dadanya. Kepalanya mulai terasa berat. Pusing. Dia tersenyum. Menikmati saat-saat kesadarannya hilang. Ah. Akhirnya.

Di saat Jimin mulai merasa berat di dadanya sudah tidak bisa dia bendung lagi, dia terangkat ke atas. Seseorang memeluknya. Seseorang menggengam tangannya. Seseorang memanggilnya.

"Jimin..." Bisikan yang lembut. Membuat senyum Jimin makin melebar.

Tenang. Damai.

Tubuhnya diseret. Jimin merasa tubuhnya terantuk sesuatu yang keras. Batu. Dia terbaring di atas batu. Dia ingin membuka matanya, tapi dia tidak bisa.

"Jimin... Sial. Fuck. Apa yang kau lakukan? Jimin! Oh Tuhan!"

Yoongi hyung?

Jimin kenal suara itu. Min Yoongi, kakak kelasnya. Min Yoongi, teman sekelompoknya di kelas musik. Kakak kelas yang mengajarinya bermain piano. Jimin sangat kenal suara itu.

"Jimin, bangun..." Suara itu memohon.

Dadanya tertekan. Dadanya terdorong keras. Berkali-kali sampai sesak di dadanya mulai menghilang.

Jimin mulai merasa panik. Tenggorokannya terasa penuh. Dia ingin muntah.

Tolong.

Bibirnya terdorong. Sesuatu mendorong masuk dari mulutnya. Melawan air di rongga-rongga dadanya.

"AHHHHHHH!" Jimin berteriak keras. Dia terbatuk-batuk dan memuntahkan banyak air dari mulutnya. Samar-samar dia melihat jaket kelas musik. Ada nama Min Yoongi di sana.

"Jimin? Apa kau bisa mendengarku? Jimin? Jimin?"

Jimin tersenyum. Min Yoongi menyelamatkannya. Dia belum mati tapi damai di dadanya tetap ada.

Seseorang menyelamatkanya. Seseorang menginginkannya.
Semuanya baik-baik saja.
Semuanya akan baik-baik saja.

***


A/N: just a quick drabble to ease the pain in my chest. Sorry. It's totally weird.

ServirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang