Apprehension

1.4K 168 6
                                    

Aku tidak berhenti merinding sejak tadi. Aku memandang langit-langit rumah sakit yang terlihat begitu terang karena lampu sepanjang tiga puluh sentimeter yang dipasang tepat di atas kepalaku. Sedari tadi aku memandangi lampu itu. Walaupun, demi Tuhan semesta alam, aku sangat benci melihat cahaya terang, apalagi saat aku sedang berbaring begini. Rasanya mataku sengaja dibutakan oleh cerahnya.

Orang bilang surga itu cerah. Penuh pelangi, bidadari langit, malaikat Tuhan dan semua hal sani dan indah yang tidak terbayang. Nirmala yang penuh kedamaian. Aku teringat semua itu saat aku menatap langit-langit, saat mataku bertemu dengan cahaya terang lampu.

Aku mendengar beberapa orang berbisik. Di bilik sebelah, seseorang mengalami kecelakaan kerja, mereka baru saja mengamputasi tangannya. Ada seorang ibu muda yang tidak berhenti menangis sejak tadi, membuat aku semakin takut.

Aku ketakutan. Aku ada di bilik nomor tujuh, bilik yang sama bahkan mungkin tempat tidur yang sama, yang dulu pamanku tuduri saat dia menghembuskan napas terakhirnya. Saat jiwanya terbang entah ke mana, mungkin ke surga. Ada praduga gila yang muncul dengan bebas di otakku yang benar-benar sudah rusak. Aku berpikir mungkin aku akan mati.

Aku akan mati. Mungkin aku akan mati secara perlahan, sama seperti pamanku. Rasa sakit di kepalaku membiat aku bahkan sulit untuk bernapas. Rasanya seperti seseorang sengaja meletakkan satu ton beban di atas keningku.

Kalau aku mati dalam detik-detik ini, mungkin sedikit yang menangisiku hanya ibuku, ayahku, mmungkin saudata-saudaraku dan sedikit teman. Atau mungkin saja mereka tidak akan menangis, setidaknya dengan tulus.

Aku hina. Aku tidak akan pergi ke surga. Mungkin aku akan pergi ke neraka, di mana aku akan dibakar dan dihukum. Aku memejamkan mataku sejenak. Pikiran konyol mulai meracuni tubuhku.

Aku ingat bertengkar dengan teman karibku hanya karena hal konyol soal janji. Aku harus minta maaf. Aku merasa begitu buruk sekarang. Mulutku terasa pahit.

Menunggu memang hal paling menyebalkan di dunia ini. Aku baru menunggu ibuku untuk beberapa saat, mungkin sepuluh menit, tapi rasanya aku bisa mati detik ini juga karena bosan. Menunggu membuat otakku mencari hal lain untuk dilakukan dan sialnya dia memutuskan untuk memikirkan kematian. Alas. Dasar brengsek.

"Selamat sore, dengan Park Jimin?" Seseorang menyapaku.

Aku membuka mataku untuk melihatnya. Seorang dengan jubah putih panjang dan kacamata tebal tersenyum padaku. Senyumnya palsu, hanya sekedar formalitas atas nama norma kesopanan.

"Ya," jawabku pelan.

Dokter itu mengatakan banyak hal. Aku hanya mengangguk. Dia bilang tekanan darahku rendah dan dia sedikit takjub aku tidak pingsan sampai saat ini. Dia menyebutkan ada yang salah dengan penyakit asmaku. Juga sedikit tenyang kebiasaan burukku yang gemar mengkonsumsi minuman dingin, sesuatu tentang radang ternggorokan membuat aku merinding.

"Anda perlu berhenti minum minuman dingin dan makanan pedas, atau kita mungkin harus mengeoperasi Anda." Dokter itu menggelengkan kepalanya. Mungkin heran, mengapa ada jenis manusia sepertiku di dunia ini.

Setelah itu dia meninggalkanku, dia bilang sakit kepalaku mungkin ada hubungannya dengan gegar otak ringan yang aku alami setahun yang lalu. Aku bergedik. Tuhan semesta alam, aku belum mau mati.

"Kita akan melakukan tes darah untuk melihat penyebab sakit kepala Anda." Dia tersenyum lagi.

Aku mengangguk. Tidak begitu mengerti mengapa tes darah dan gegar otak ringan berhubungan karena aku benar-benar bodoh soal sains. Dia meninggalkanku dan aku kembali dibiarkan menunggu.

Kali ini aku terpikir tentang si gila yang sedari tadi sibuk meneleponku. Mungkin ibuku memberitahu dia kalau aku sakit. Dia sibuk menanyakan kabarku. Aku mengabaikannya. Entah mengapa wajahnya membuat aku marah. Emosiku menjadi tidak stabil.

Mungkinkah dia akan menangis jika aku mati? Orang gila ini menyatakan cintanya padaku tiga hari yang lalu. Dari hati yang terdalam, aku ingin sekali bilang kalau aku juga mencintainya tapi, oh Tuhan, tidak. Aku tidak akan mengatakan itu. Setidaknya sampai si gila ini yakin dengan hatinya.

Aku merasa tidak ada cinta di sini. Hanya saja aku bosan dengan kesendirian dan dia sedang terpuruk karena patah hati. Hanya karena itu. Aku tidak mungkin mempertaruhkan hatiku hanya karrna hal sesederhana sekaligus serumit itu.

Kami sedang bermain-main. Itu yang aku pikirkan. Kami hanya bosan dengan kesendirian. Kami hanya lelah dengan patah hati. Kami sibuk dengan kenyamanan yang kami rasakan. Hanya itu. Begitu saja.

Aku merasa aku adalah pribadi yang buruk jika aku memikirkan dia. Dia berhak mendapat kesempatan tapi aku merasa sudah memberikan terlalu banyak kesempatan bagi semua orang yang datang. Aku ingin seseorang yang datang memilih untuk mengetuk pintu hatiku dengan sopan, daripada berusaha menghancurkan dinding yang aku bangun dengan susah payah dan perjuangan. Di sini, dia menghancurkan satu batu bata kecil untuk mengintip ke dalam dan ada kemungkinan bersar dia akan menghancurkan banyak batu bata yang lain. Aku harus mencegahnya.

Aku mau dia, tapi aku tidak siap untuk jatuh cinta, apalagi patah hati. Perasaan yang sama seperti saat aku memutuskan untuk masuk ke dalam rumah hantu, aku tidak siap untuk ditakuti, tapi aku sangat penasaran bagaimana rasanya. Yang terpenting, aku sudah tahu kalau aku akan kecewa dan menyesal. Itu faktor yang paling penting. Dia akan mengecewakanku. Dia akan melukaiku. Sama seperti sebelum aku masuk ke rumah hantu tempo lalu, aku tahu aku akan kecewa, aku akan menyesalinya tapi demi kepuasan sesaat aku tetap masuk rumah hantu terkutuk itu.

"Selamat pagi." Kali ini seorang wanita paruh baya menatapku. Dia juga tersenyum. Senyumannya adalah senyuman palsu yang sama seperti yang dokter tadi berikan. Bedanya wanita ini lebih kaku.

Wanita ini datang untuk mengambil datahku. Dia tersenyum dan menyuntikan sebuah jarum suntik yang tebal tepat ke lipatan lenganku.

"Sakit sedikit," katanya.

Aku melihat bagaimana satu botol kecil darahku mengalir. Wanita itu tersenyum senang saat dia mengambil cukup banyak darah. Dia menutup lukanya dan memintaku untuk kembali menunggu.

Aku kembali memikirkan hidupku. Semakin aku menua, aku semakin banyak berpikir. Hidup itu gilla. Mengapa Tuhan sibuk memberikan masa muda dan kesahatan kepada orang-orang bodoh? Sayang sekali rasanya. Saat mereka semua sudah bijak, mereka hanya menunggu mati. Siapa yang menciptakan sistem segila ini?

Semakin aku tua, aku semakin banyak berpikir akan segala tindakan. Orang-orang mungkin akan menyebutnya kalkulasi. Aku menghitung tiap tindakan, untung ruginya. Menakjubkan bagaimana kecewa bisa merusak pribadi seseorang. Terlalu banyak kecewa membuat aku berhati-hati akan siapa pun. Bahkan terkadang aku benci mereka yang mmebuatku kecewa.

Tirakatku adalah tidak membenci orang lebih dalam daripada bagaimana aku akan mencintai seseorang. Namun terkadang hasrat manusiawi mengharuskanku untuk menjadi jahat demi sebuah ungkapan konyol, kepuasan sesaat yang bernama dendam dan pembalasaan. Mungkin aku sudah membenci orang sangat dalam. Dalam sekali sampai aku sulit melihat dasarnya. Mungkin aku butuh menelitinya lebih dalam untuk menemukan dasarnya. 

Saat aku dikecewakan, aku lebih dari sekedar gila. Aku akan mencaci. Aku akan berontak. Tidak ada yang bisa menindasku. Aku tidak dilahirkan untuk ditindas. Aku akan menang, meraih apa yang aku mau. Aku luar biasa. Itu prinsipku. Aku tidak hidup untuk menjadi olok-olokan orang, apalagi kegagalan.

"Park Jimin? Tes Anda sudah selesai. Hasilnya tidak buruk, sel darah putih Anda rendah. Mungkin Anda butuh istirahat selama tiga atau empat hari. Gegar otak Anda sudah memulih dan terlihat semakin bagus. Kita akan lihat apa kita butuh operasi tambahan nanti. Saya sarankan untuk memeriksa diri Anda dua bulan lagi dan tolong segera datang jika sakit kepala Anda bertambah buruk." Dokter itu berbicara panjang lebar tapi yang aku dengar hanya aku tidak akan mati. Setidaknya tidak dalam waktu dekat-dekat ini. Itu mmebuatku senang.

Dokter itu tersenyum padaku, jenat sudah seribu pikiran yang mengusik hatiku. Sepai sudah pikiran akan mati. Aku balik tersenyum.

"Terima kasih," ucapku.

Aku berpikir sekali lagi saat dokter itu pergi meninggalkanku. Aku harus memperbaiki bagaimana aku bersikap. Terkadang orang dewasa kehilangan perasaan yang paling dibutuhkan untuk hidup; ketulusan. Aku rasa aku mulai kehilangan itu.

***

A/N: Pikiran gila di bangsal rumah sakit. I feel like I'm growing too fast. Apa kabar semuanya?

ServirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang