Breakeven

1.4K 225 30
                                    

Saat pertama sekali Yoongi memutuskan untuk meninggalkan Jimin karena bosan, Jimin menangis tiga hari tiga malam. Rasanya sangat kejam dan tidak adil. Dia mengutuk si brengsek itu untuk seumur hidupnya.

Di hari pertama Jimin merasa hidupnya hancur, rasanya dia tidak ingin meningalkan rumah, bertemu siapa pun membuatnya malu dan merasa begitu kecil. Dia merasa sangat rendah, seolah dia tidak berharga sama sekali. Dia takut akan hampir segalanya. Dia mengurung diri seharian di kamarnya.

Di hari kedua Jimin merasa sedikit lebih baik, ibunya mengetuk kamarnya dan membisikan kata-kata manis padanya. Dia akhirnya membuka pintu kamarnya, dia memeluk ibunya. Dia mulai makan dengan benar lagi. Sudah seharian dia tidak makan. Dia juga mulai merawat dirinya lagi, dia mandi untuk waktu yang cukup lama. Dia mencuci rambutnya. Dia juga memakai lulur wajah.

Jimin tidak langsung berani keluar rumah hari itu. Dia berdiam diri, membaca sebuah buku usang dari koleksi novelnya, buku tentang patah hati, karena cinta dan romansa terasa sangat picisan baginya. Dia menghabiskan lebih dari setengah hari menatap buku itu dengan tatapan kosong.

Lalu di hari berikutnya Jimin mulai mencari angin, dia keluar dari kamarnya dan melihat matahari. Dia berdiri di balkon rumahnya dengan sedikit senyum. Dia menatap langit yang cerah dan merasa senang. Hatinya sedikit terhibur.

Entah di hari keberapa, Jimin memutuskan untuk keluar rumah. Dia kembali mengaktifkan ponselnya. Ratusan pesan masuk. Pesan terbanyak adalah dari Jungkook. Dia memang menolak kunjungan siapa pun selama entah berapa hari.

Jimin membalas pesan Jungkook. Dia menatap langit sekali lagi, lalu bergerak masuk ke dalam satu kafe. Dia membeli satu gelas kopi hitam dan kentang goreng. Dalam diam dia mentap gelas kopinya, dia duduk di tempat yang sama, tempat yang sama yang sering mereka tempati. Tempat ini penuh kenangan. Penuh rasa bahagia tapi juga derita yang teramat dalam.

Jimin sedikit tersenyum tapi setetes air mata jatuh dari pipinya. Ada rasa kesal, benci dan malu yang merasuki hatinya. Tubuhnya gemetar. Bayang-bayang masa lalu menyelimuti dadanya, membuat jiwanya berontak. Dia tidak bisa tenang.

Tiga hari sesudah itu Jungkook datang kepadanya, kali ini dia tidak menolaknya. Dia menyambut Jungkook dnegan sneyuman tipis dan memeluknya. "Hey, kau baik?" tanya anak itu dengan sebuah senyum canggung.

"Baik," jawabnya.

Mungkin itu adalah kata pertama Jimim sejak tiga atau empat hari. Entahlah. Dia hanya bebicara dengan ibunya akhir-akhir ini.

"Jimin, bagaimana kalau kita pergi keluar? Nonton film? Atau pergi ke taman ria? Kau boleh pilih apa saja yang kau mau." Jungkook mengatakannya dengan suara lirih. Sangat terlihat rasa kasihan di dalamnya. Tiba-tiba Jimin merasa begitu menyedihkan. Dia tahu maksud Jungkook baik, tapi dia tetap merasa jengkel.

"Jungkook, bagaimana kalau kita nonton film?" Jimin bertanya.

"Oh. Boleh!" Jungkook berseru dengan suara riang. Wajahnya menyiratkan kebahagiaan yang tulus, membuat Jimin merasa tersentuh.

Mereka pergi ke bioskop, menonton sebuah film horor karena film romantis terasa terlalu menjengkelkan saat ini. Mereka berjalan keluar bioskop dengan perasaan canggung. Sepanjang film Jungkook sibuk memerhatikan Jimin yang menatap kosong film di depannya, bahkan saat bagian menyeramkan dia tidak berkedip.

"Filmnya tidak begitu menyeramkan ya?" Jungkook sedikit berbasa-basi.

"Hm." Jimin mengangguk lemah. Dia mengingat lagi satu kenangan tentang bioskop. Bagaimana pertama kali mereka menonton film dan merasa sangat bahagia. Tidak tertandingi oleh apa pun.

Lalu mereka makan kue beras di Hongdae. Jimin makan lebih dari sepuluh kue beras. Dia tersenyum, kenangan mereka akan kue beras membuat dia sedikit mengusap dadanya yang perih.

Selesai itu mereka menonton beberapa pertunjukan jalanan di sana, ada beberapa penari yang hebat, musisi yang bernyanyi merdu dan pertunjukan seni lain.

Mereka pulang dengan wajah riang. Jungkook berhasil membuat Jimin tertawa, meski belum terlihat tulus dari hatinya.

Saat hari hampir malam, mereka kembali ke rumah Jimin. Di depan rumah mereka melihat sebuah sedan hitam yang mereka kenal terlalu baik. Jimin menoleh pada Jungkook, meminta pertolongan.

"Apa sebaiknya kita pergi membeli sepatu? Aku butuh sepatu baru!" Jungkook menjerit cepat, wajahnya takut seolah dia baru melihat hantu.

"Park Jimin," seru seseorang dari balik sedan itu.

Jimin menoleh dan terdiam. Wajahnya kaku. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Apalagi ada wanita itu di sampingnya.

"Bajingan! Kau berani bawa pelacur ini ke sini?!" Itu suara Jungkook yang melengking keras, bergerak cepat ke depan, hendak menampar wanita itu.

Jimin terdiam. Dia masih tetap terdiam kaku. Hatinya kembali berdarah. Lukanya yang hampir kering kembali basah, seperti baru saja kembali disayat di titik yang sama.

"Jungkook!" Jimin menjerit. Dia menutup kedua telinganya dengan telapak tangannya. Mencegah suara-suara berisik terdengar. Di depannya Jungkook sibuk menarik rambut wanita itu, sementara dia sibuk menghadang, tapi tatapannya berfokus pada Jimin.

Jimin melihat rasa bersalah yang besar di sana. Ada juga penyesalan, walaupun sedikit.

"Jungkook!" Jimin berteriak lebih keras. Kali ini Jungkook menghentikan jambakannya, dia berlari dan memeluk Jimin.

"Hei? Kau tidak apa-apa?" Jungkook menyeka keringat yang mengalir deras dari kening Jimin.

Jimin mengangguk. "Jungkook, ayo masuk."

"Ya. Ayo." Jungkook sedikit meringis.

Mereka melewati dia dan wanita itu. Dia sibuk memandang Jimin lirih sedangkan wanita itu berusaha memperbaiki rambutnya.

Jimin tersenyum, dia berhenti sejenak dan berkata, "Semoga bahagia, Min Yoongi." Lalu dia berlalu.

Dari jendela dia bisa lihat bagaimana Yoongo menuntun wanita itu masuk ke dalam mobil. Sebelum pergi dia meletakan satu amplop di dekat pagar. Jimin tahu betul apa isinya; undangan pernikahan.



***


Spesial kepada setiap orang yang baru saja patah hati. Kamu bisa melalui ini, kamu akan bahagia kembali. Kamu akan menemukan yang lebih baik.

Untuk kamu yang sudah bahagia bersama yang lain.

Dari aku yang patah hati dan bingung bagaimana melanjutkan hidup, semuanya penuh kenangan bersama kamu.

5 Maret 2018, ditulis sebagai pelepas nelangsa hati yang patah.

ServirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang