Chapter Twenty-Two

1.7K 168 7
                                    

"So I look in your direction. But you pay me no attention." – Coldplay

-

-

"Apa yang kau bicarakan dengan Maddie?" tanya Thomas ketika ia memberhentikan Mikaela-nya di pesisir pantai. Aku duduk di atas motor sementara Thomas kembali dari minimarket dengan dua kaleng minuman di tangannya. Dia melemparkan sekaleng jus jeruk padaku lalu aku membukanya.

"Tidak ada." Aku meneguk jus jerukku. Rasanya begitu segar di tenggorokanku.

Thomas bersandar pada motornya di sampingku. Masing-masing kami menatap lurus pada pemandangan indah di hadapan kami, garis pantai yang memantulkan warna matahari yang berwujud oranye keemasan.

"Apa tadi itu tentang Maggie?"

"Wow. Setepat itu dugaanmu."

"Well, aku harusnya tau Maddie punya intuisi yang bagus ketika melihat ke dalam seseorang."

"Jadi selama ini kau punya seorang gadis yang dekat denganmu? Aku ingat pernah bertemu dengan Maggie di café. Maggie itu cantik, dan.. kelihatannya juga baik. Kau juga sudah dekat dengan keluarganya. Hei, kenapa tidak kau bersamanya saja?"

Lama tak ada balasan, aku melihat Thomas tengah menyipitkan matanya memandangiku. Kemudian dia tertawa kecil.

Aku mengerutkan dahiku. "Apa?"

Tawanya tidak berhenti, melainkan terus berkembang. Dia sadar bahwa aku sedang cemburu. Aku mencebik. "Kau menyebalkan!"

Thomas terus tertawa. Dia mencoba meraih pipiku namun aku menepisnya. Dia terus mencobanya sambil terus tertawa. Thomas malah mencubit pipiku. "Aku saaangat menyukaimu."

"Masa bodoh," desisku.

Setelah Thomas selesai tertawa, dia baru mulai bicara. "Aku tau Maggie memang menyukaiku. Dan sudah lama sekali semenjak Maggie menyatakan perasaannya padaku. Tapi gadis seperti Maggie punya banyak—"

"Tunggu-tunggu.. Maggie menyatakan perasaannya padamu?"

"Uh, iya..?"

Aku menunduk. "Dia keren sekali. Aku iri padanya."

"Tapi aku hanya menyukaimu."

Dasar cowok. Agak sulit untuk mempercayai perkataan mereka akhir-akhir ini. Ketika rasanya kau akan terbang karena kata-kata manisnya, seketika itu pula kau teringat bahwa itu semua mungkin hanya sebuah bualan.

Mendapatiku yang hanya menghela nafas dan tak menunjukkan respon apapun, aku tau dari sudut mataku Thomas terlihat merasa bersalah.

"Maafkan aku," sesalnya. "Apa yang bisa ku lakukan untukmu, Jane?"

Well, tidak adil. Aku tak cukup tega untuk melihatnya merasa bersalah begitu.

Aku menyeringai, dan mengibaskan tanganku. "Sudahlah, Thomas. Kau tak perlu melakukan apapun. Aku bukan gadis kebanyakan. Aku tidak membutuhkan sogokan murahan untuk memberikanmu maaf."

"Ayolah, Jane. Kau cewek! Kau menginginkan sogokan murahan sekalipun. Jadi katakan, apa yang kau inginkan? Cokelat? Surat cinta? Bunga?"

Aku terkekeh. "Jangan berkata seakan kau ingin membelikanku sesuatu."

"Hanya jika kau tidak meminta cincin berlian."

"Dan, bagaimana jika aku menginginkan cincin berlian. Apa kau akan membelikannya?"

Thomas diam sejenak, berpikir. Lalu matanya menjurus padaku. "Ya. Tapi tidak sekarang."

Dari mata cokelat gelapnya, aku bisa melihat itu. Dia serius dengan kata-katanya.

BloomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang