Chapter Twenty-Nine

1.6K 156 4
                                    

"Yeah my heart is my gun. Army of one." – Coldplay

-

-

Aku menuruni tangga menuju pintu keluar gedung kantorku. Vern sudah menungguku di bawah. Aku akan pulang bersama Vern hari ini. Wanita itu memintaku menemaninya berbelanja. Dia tau persis bahwa aku adalah pengontrol nafsu belanja terbaiknya. Aku bisa menemaninya dengan senang hati setelah akhirnya dia menjanjikanku waffle paling enak di kota. Saat aku melangkah keluar pintu, aku melihat Vern sedang membelakangiku.

"Vern, ayo—" Kata-kataku terhenti. Vern tidak sendirian di sana. Dia sedang berbicara dengan seorang pria. Mereka berdua menoleh ke arahku. Pandanganku silih berganti, antara Vern dan pria itu.

"Jane," panggil Glenn lirih. Sedang apa dia di sini? Apa yang dia inginkan?

"Jane," Vern memanggilku dengan nada yang lebih tegas. "Ayo kita pulang."

Dia meraih tanganku dan berusaha membawaku pergi. Tapi Glenn mengejar kami, menghentikan Vern. "Aku ingin bicara dengannya sebentar saja, Vern."

"Vern, tak apa," ujarku.

Vern memberikan tatapan tajam penuh arti pada Glenn. Seperti memperingatkannya kalau-kau-mencoba-menyakiti-sahabatku-lagi-akan-ku-bunuh-kau.

"Oke," dia mengangguk. "Tapi sebentar saja."

Vern memegang bahuku, mengalihkan tatapannya padaku. "Berhati-hatilah, Jane. Aku tau kau mudah terpengaruh. Aku akan menunggumu di mobil. Lima menit kau tidak datang aku akan menarikmu kembali."

Aku tersenyum. "Makasih, Vern."

Wanita cantik itu berlalu sambil terus mengawasi kami. Aku sayang Vern.

"Jane," Glenn memanggilku lagi. Aku memandangnya. Mungkin, menatapnya. Aku tidak mau lagi terlihat lemah. Aku tidak takut.

"Apa kabarmu baik?"

"Langsung pada inti, Glenn," pintaku.

"Well, aku hanya ingin mendengar langsung kabar darimu. Dan.. Vern sepertinya tidak ingin aku bicara terlalu banyak padamu, jadi.." Glenn membasahi bibirnya. "Kapan kau punya waktu luang?"

Aku menggeleng. "Aku tidak tau. Aku sibuk."

"Oh, tentu." Dia mengusap rambutnya. "Dengan pacar barumu ya."

Dia tau?

Pacar baru? Bagus.

Tapi Thomas bukan pacarku. Belum. Thomas belum memintaku. Aku tak terlalu mempermasalahkannya sekarang. Aku merasa kami baik-baik saja tanpa status itu. Aku tak tau bagaimana dengan Thomas, tapi yang aku yakini saat ini adalah, kepercayaan adalah segala yang kita butuhkan. Dan itu lebih penting dari apapun.

Terserah bagaimana Glenn menganggap hubungan kami, aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Aku senang mengetahui dia menyesal.

Aku merasa menang.

Glenn melanjutkan. "Kau tau kau bisa menghubungiku kapan saja jika kau mau."

Apa yang dia harapkan dariku? Menghubunginya? Apa yang ada dalam pikirannya? Ketika bayangannya hampir memudar sepenuhnya, dengan lancang dia muncul lagi di hadapanku seperti malaikat tanpa dosa.

"Oke."

"Oke?"

"Ada lagi?" tantangku. Mungkin aku berlebihan, tapi biarkan saja.

"Tidak." Glenn menggeleng, mengangkat tangannya. "Hanya itu."

Terbesit dalam benakku tentang malam itu. Aku ingin menanyakan apa yang dia lakukan waktu itu. Tapi aku menahan diriku. Dia akan berpikir aku masih peduli.

BloomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang