Chapter Thirty-Three

1.9K 165 16
                                    

"Life is short as the falling of snow. And now I'm gonna miss you, I know." – Coldplay

-

-

Aku berpapasan dengan Glenn saat berjalan menuju halte. Dia dengan mobil merahnya—entah kemana perginya mobil yang lama—, mengikuti langkahku, memaksaku masuk dan diantar pergi secara cuma-cuma. Dia seakan memerasku dengan mengatakan akan terus membuntutiku kemanapun jika aku tidak menerima ajakannya. Jadi dengan terpaksa, aku mengiyakan ajakannya untuk menemuinya pada akhir pekan.

Jawabanku berencana hanya untuk membuatnya pergi. Mungkin aku akan beralasan untuk membatalkan atau tidak perlu menghubunginya sama sekali nanti. Karena saat ini, aku tak bisa membiarkannya ikut denganku. Aku dalam perjalanan menuju rumah keluarga Nithercott yang sudah menjadi rutinitasku, meski tanpa tujuan apapun. Termasuk untuk sekadar menemui Thomas. Aku bisa tinggal disana jika aku mau, tapi aku belum merencanakan hal itu.

Pintu rumah dikunci ketika aku sampai, dan Thomas pasti sedang pergi. Aku mengingat hari dan memastikan diriku bahwa hari ini dia libur dari pekerjaannya. Dia pasti pergi ke suatu tempat tanpa mengabariku. Aku mencoba menghubunginya, tapi ponselnya tidak aktif. Kemana dia?

Diana.

Aku tau Diana sering datang dan mereka menghabiskan waktu bersama akhir-akhir ini. Aku tidak akan menyalahkan Diana, dan aku sedang dalam usaha untuk terus mempercayai Thomas, tapi aku hanya takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada Thomas. Oke, mungkin ini hanya terdapat dalam pikiranku yang berlebihan. Tetapi bagaimana caranya aku tidak berpikir untuk tidak memikirkannya?

Aku mengambil kunci dari balik pot di samping pintu, di sanalah mereka biasa menyimpannya—Thomas pernah memberitahuku. Aku masuk ke dalam rumah dan memutuskan untuk menunggu mereka. Aku mencoba menghalau segala rasa cemas yang merasuki pikiranku. Aku meyakinkan diriku sendiri, jika saja benar Thomas saat ini sedang bersama Diana, Thomas tau apa yang sedang dilakukannya.

Setelah Tonny meninggal, keadaan rumah tak jauh lebih baik, tapi juga tak lebih buruk. Piring-piring kotor tetap menumpuk dan bekas-bekas bahan makanan juga selalu tak pernah langsung dibersihkan sehabis memasak. Aku melakukan pekerjaan itu, dan setelah selesai aku berbaring di atas sofa untuk beristirahat. Tanpa sadar aku memejamkan mataku, kemudian aku terlelap.

***

Aku terbangun karena mendengar deru mesin mobil yang terparkir di depan. Sempat mengira bahwa aku tertidur sampai pagi, namun nyatanya aku tertidur sampai petang dalam hari yang sama. Aku mengumpulkan nyawaku sebelum akhirnya beranjak ke pintu depan. Langkahku terhenti ketika mendengar percakapan dua arah dari luar. Aku mengintip dari jendela dan melihat mereka berdua. Suara mereka terdengar, tapi percakapan mereka samar. Aku tak dapat menangkap apa yang sedang mereka bicarakan.

Mereka bergerak, berjalan ke arah halaman belakang berdampingan. Aku tak bisa melihat ekspresi Thomas, kecuali Diana dengan senyum merajuknya itu. Aku mengikuti mereka diam-diam, perlahan semoga tidak terlihat menuju ke tempat pribadi keluarga ini. Hatiku terasa sedikit, well, hanya sedikit, tercekik saat mengetahui ada orang lain yang menjadikan diriku lepas dari kata istimewa.

Aku melihat mereka berpelukan di sana.

Apa? Apa yang terjadi? Aku tak cukup dekat untuk mendengar mereka. Tapi aku tak bisa lebih dekat lagi untuk tidak tertangkap basah. Jadi yang kulihat adalah, Thomas memeluk Diana, dengan sangat bersahabat, dan Diana membalasnya dengan pelukan yang tak kalah eratnya.

Lalu mereka berciuman.

Di depan mataku. Tidak. Mungkin aku salah. Otakku mencoba mengulang untuk mengingat detailnya, apakah Diana yang memulai duluan, atau Thomas yang memulainya. Tapi pikiranku kacau dan apa yang terjadi di hadapanku tetap sama. Mereka berciuman. Dan Thomas membalasnya.

BloomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang