"I'll always look out for you. That's what I'll do." – Coldplay
-
-
Pria itu berdiri, sendirian menghadap ke laut. Matanya menerawang, mungkin. Rambutnya berantakan. Dia hanya mengenakan kaus tanpa lengan. Dalam cahaya yang temaram pun aku dapat melihat wajahnya yang memerah. Di tangannya, terdapat sebuah botol berwarna hijau. Kemudian dia meminumnya. Pria itu mengacak rambutnya, mengusap wajahnya. Lalu bibirnya berkerut, wajahnya malah berubah masam. Dia meminumnya lagi. Meneguknya tanpa berhenti.
Tidak.
"Tidak, Thomas! Berhenti!" Aku berlari menghampirinya. Thomas tak mendengarku, dia tidak berhenti.
"Berhenti, Thomas!" Aku menarik botol yang berada di genggamannya, tapi Thomas memegangnya dengan sangat erat, tak mau melepaskannya. Aku mencoba merebutnya, hingga Thomas merasa terganggu, lalu botol itu itu berakhir mengenai dahiku hingga aku terhuyung. Mataku terpejam. Tubuhku terasa melayang. Aku terduduk di pasir. Saat itu yang kupikirkan adalah, Thomas tidak memukulku. Dia pasti tidak sengaja. Dia tidak mungkin sengaja.
"Jane?"
Aku mendengar bisikan lirih. Bau alkohol semakin dekat denganku.
"Jane, kau tidak apa-apa?"
Sekarang paru-paruku seperti terisi penuh dengan alkohol. Baunya membuatku pusing. Aku membuka mata dan mendapati wajah Thomas berada tepat di hadapanku. Matanya memerah, lebih jelas terlihat sekarang. Hidungnya juga, seluruh wajahnya. Dia tampak lebih berantakan dari yang kuingat. Tapi sorot matanya, juga nada bicaranya masih sama. Dia masih Thomas yang sama. Thomas-ku.
"Apa kau terluka?" Thomas memeriksa dahiku, memastikan tak ada luka di sana. Permukaan tangannya menyentuh dahiku lembut. Rasanya seperti terjadi gerakan melambat diantara kami. Aku merindukannya.
"Aku tidak apa-apa. Tidak sakit, hanya terkejut," ucapku. Lalu kami terdiam. Tatapan kami bersinggungan. "Kau minum. Kenapa?"
"Aku memang minum. Jane," ungkapnya. Dia lalu duduk di sampingku. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Tonny mengkhawatirkanmu. Aku mencarimu. Sekarang jawab aku. Kenapa?"
"Kenapa?" dia berdiri. Dia mengeluarkan sekotak rokok dari dalam kantong celana jeans-nya dan mengambilnya satu. Kemudian dia menyalakan korek. "Biarkan aku menunjukkanmu. Inilah aku yang sebenarnya, Jane. Persis seperti yang bukan harapanmu."
Thomas berpaling, lalu menghisap rokoknya. Asap berwarna putih keluar dari mulutnya. Dia menghadap kembali padaku. "Kau bisa pergi jika kau tak ingin menghirup asap kotor ini. Semestinya kau tak berada disini."
Aku berdiri. Kutarik bahunya dan membuatnya berhadapan denganku. Mataku menatapnya nanar. Rambutnya bergerak acak tertiup angin laut. Dengan rokok yang dijepit diantara jarinya, Thomas terlihat begitu kusut. Sekusut-kusutnya.
"Tolong katakan padaku segalanya," pintaku.
Dia tertawa pelan, tawa yang meremehkan. "Percayalah padaku, Jane. Kau tak mau tau apa yang telah terjadi padaku. Lagipula, urusanku sama sekali tak penting untukmu. Bukankah selalu begitu yang terjadi?"
Aku menautkan kedua alisku. "Jangan katakan seakan aku tak pernah peduli."
"Semua yang sialan kau pedulikan hanyalah dia!" dia membentak.
"Semua yang sialan aku pedulikan adalah dirimu!" Aku melawannya. Jantungku berdentum kencang.
"Lalu bagaimana kau jelaskan padaku mengapa kau terlihat gelisah saat Glenn-mu itu bersama wanitanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bloomed
Romance[Wattys 2018 Winner: The Change Makers!] Adalah sebuah dosa jika Jane O'Reilly meminta Thomas yang hadir dalam reuni kecil mereka, untuk menemaninya ketika hatinya baru saja diretakkan oleh mantan kekasihnya. Jane tak pernah bermaksud memanfaatkan T...