Bagian 21

9.9K 738 36
                                    

Renita POV

Sudah dua hari hujan turun tak kenal waktu. Beberapa jalanan banjir dan macet. Pasti bukan hal baru lagi bagi warga jakarta. Apalagi aku.





Pagi ini kami sekeluarga tengah bersiap-siap menuju bandara. Cek in masih satu setengah jam lagi. Tapi kami mengantisipasi karena hujan yang bisa mengakibatkan macet parah.




Sengaja pula sejak dari kemarin malam aku menghilangkan diri dari Angga. Terakhir disaat Papa bilang akan mengunjungi Om Eko dan liburan bersama aku bilang pada Angga akan sibuk beberapa waktu ini dan tak bisa memberi kabar. Pasti dia sangat ingin tahu dan menunggu kabarku. Biarkan ini menjadi kejutan untuknya.





Dua taxi yang dipesan Papa sudah datang. Kami buru-buru bersiap pergi meninggalkan rumah dan Bu Tatik kini sendirian.


"Wiih, macetnya." Dengus Mas Rio yang semobil denganku dan Mama. Sementara Papa dengan Alin.




"Kapan jakarta ngga macet lagi. Apalagi kalo hujan. Parah begini." Imbuh Mama sambil melihat pemandangan banjir dan macet dari jendela mobil taxi.





Empat puluh lima menit berlalu kami sampai di bandara. Sebenarnya jarak rumah ke bandara hanya tiga puluh menit jika jalanan lancar.





"Ayo kita cek in dulu biar ngga buru-buru." Ajak Papa sambil mendorong trolly berisikan beberapa koper kami sekeluarga.






__________________________________________

Di Bandara Juanda






"Mas Mbak..." Sapa seorang lelaki berseragam doreng. Ternyata Om Eko sudah menunggu kami semua.



"Ehh, aku cari-cari kemana. Apa kabar? Sehat?"



"Sehat Mas. Mas sama Mbak gimana?"



"Alhamdulillah kami sekeluarga sehat." Ucap Mama.



Kami mencium tangan Om Eko bergantian, dari Alin, aku lalu Mas Rio.

"Tante Suci kemana Om?"



"Iyaa, ko ngga ada Om?" Tanyaku mengikuti Alin.




"Tantemu ngga ikut. Ada acara sama ibu Persit di batalyon. Katanya penting. Wis ayo kita langsung meluncur ke rumah Om. Ayok.."






Perjalanan berlanjut kembali. Tubuhku mulai terasa lelah. Ku lirik Alin sudah tertidur di pangkuanku. Mas Rio juga sudah terlelap didepanku yang sedang bersandar di pundak Mama. Hanya suara Papa dan Om Eko yang terdengar sedang berbincang-bincang. Aku teringat dengan hpku yang seharian tak ku tengok sama sekali.






21 panggilan tak terjawab, 115 pesan belum terbaca. Semua itu dari Angga.

"Pasti dia sangat cemas dan bertanya-tanya. Hehehe." Aku tersenyum menang.





Tak terasa kami sampai di asrama Om Eko tengah hari. Aku berusaha membangunkan Alin yang benar-benar pulas tidur dipangkuanku, nampaknya tidak berhasil.


"Biar Mas Rio yang angkat Alin. Kamu bantuin bawa koper aja." Tegas Mas Rio.



"Lagian nih anak kalo tidur enak banget."



"Dia kecapekan, Ren. Sudah ngga apa. Kamu turun duluan."




Mbak Suci menanti di depan asramanya.

CINTA SI GADIS JAKARTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang