Bagian 3

24.2K 2.3K 60
                                    

"All she want is something real, so she can survive in this cruel world."

―Princess In 24 Hours


Pertanda istirahat pertama berbunyi. Quinsha menutup macbook, mengemasnya ke dalam ransel. Begitu Ibu Guru sudah meninggalkan kelas Sastra, semuanya saling berebut mendahului. Tetapi ketika Quinsha yang hendak melewati pintu, entah mengapa mereka menyingkir otomatis.

Baguslah. Pikirnya simpel.

Semasa menjadi junior dulu, banyak dari seniornya―terutama para siswi― terang-terangan menunjukan rasa tak suka kepada Quinsha. Pun dengan para siswanya yang kentara sekali menampakan rasa ketertarikan. Dari awal menginjakan kaki di Pusaka, Quinsha belum memikirkan nasib asmara yang katanya indah itu. Sebab buatnya yang terpenting sekarang adalah belajar. Goals-nya saat ini riwayat akademik luar biasa.

"Gue enggak tahu sekolah kita bakalan kedatangan tamu istimewa, Pak Bajra, kan? Bajra Sahdjimoko?"

"Ih, iya! Gue juga baru baca grup chat. Sama anaknya, gils!!!"

"Kalau nyampe bohong lo berdua, I will kill you, ya."

"Serius??? Anaknya Lyra Sahdjimoko yang terkenal itu?!"

"Iyaaaa!!! Gue harus foto, minimal bikin instastory!"

Dalam langkahnya yang anggun dan tenang menuju lorong loker, Quinsha tersenyum miring. Lyra Sahdjimoko, namanya populer di masyarakat Indonesia baru-baru ini, khususnya kalangan anak muda. Bukan karena prestasi khas Sahdjimoko yang ditorehkan, tapi skandal perkelahiannya di Amerika. Kebanyakan media mengatakan penjelasan serupa; mabuk dan memperebutkan seorang pria.

Sampai aktifitas menukar barang yang semula dibawanya dengan bekal makan, Quinsha masih tidak habis pikir akan skandal memalukan yang dibuat cucu salah satu kaum elitis itu. Lantas benda persegi panjang di sakunya bergetar sebentar.

Lyra Sahdjimoko: Hai, sepupu! Gue di sekolah lo nih, ketemuan yuk???

Tanpa bisa dicegah Quinsha mendengus. Mengetik balasan cepat.

Me: Don't you dare, ya, Ly

Lyra Sahdjimoko: Alright, see ya at ur home!;)

Quinsha tidak membalas lagi, membiarkan tanda centang biru pada ponsel Lyra. Dia bergegas mengayunkan kedua kaki ke tempat yang dituju. Lantai empat, ruang teater.

Lagu milik Lana Del Rey berjudul Young and Beautiful mengalun pelan melalui ponsel kepunyaannya.

"Waaahhh ... suka lagu ini juga?"

Quinsha melihatnya sekilas, tak berniat menyahuti.

"Aku Aurora, kita seangkatan, kan? Dari pertama masuk aku lihat kamu sendirian terus, kenapa?"

Quinsha tetap bungkam. Bergeser sedikit dari siswi satu itu, risih.

"Memang, sih, kelihatannya sekolah ini tuh kayak diciptakan buat anak-anak kaum borjuis aja. Tapi sebenarnya enggak kok, mereka bisa berbaur sama siapa pun. Oh iya, kita juga bisa jadi teman kalau kamu mau ... um, nama kamu siapa?"

Di detik ia menanyakan nama, Quinsha bangkit. Sebelum betul-betul pergi, ia berucap, "Gue gak butuh teman, apa lagi yang naif. Satu lagi, ngintip hape orang itu gak sopan."

Nasi serta lauk bekalnya terasa hambar seketika. Quinsha juga melupakan obatnya, memilih melamun memandangi panggung teater besar di depan sana.

"Dugaan gue benar ternyata, lo di sini."

Mendengar suara itu spontan Quinshamenghela napas panjang. Tak usah repot melihat pun dia tahu itu Devino.

"What are you doing here?" Tidak ada kesan ramah tamah dalam pertanyaan gadis itu.

"Looking for you," Dan Devino malah mendaratkan bokong di sebelahnya, membuat suasana hati Quinsha semakin buruk. "This song suits you so well."

Si gadis berdecih. "Inti dari lagunya bukan itu."

"Maybe I can love you just like Gastby loves Daisy, Quin."

Quinsha menatapnya meremehkan. "I'm not Daisy, and honestly, I don't like how Gatsby obsessed with her."

"Nggak apa, semua orang punya pendapat sendiri kok tentang suatu cerita." Di akhir kalimatnya Devino senyum simpul. Quinsha memalingkan wajah.

"Lyra ke sini, sama Om Bajra." Sambung lelaki itu bersamaan dengan berhentinya lagu.

"Tahu."

"Kenapa nggak samperin mereka?"

Refleks Quinsha mendelik. "Bukan urusan lo."

Devino merapatkan bibir sesaat, mengangguk mengerti. "Sampai kapan mau merahasiakan identitas lo dari semua orang, Quin?"

"Gue bilang, bukan.urusan.lo, Devino." Geramnya tertahan.

"Tapi itu malahan bikin mereka―"

"Stop!" Quinsha berdiri, mengambil bekal beserta ponselnya. Melanjutkan dengan nada sedingin yang pernah Devino dengar, "Berhenti pura-pura peduli sama gue. Gue bukan Sahdjimoko―"

"Quin, maksud gue―"

"Dan enggak akan pernah menjadi Sahdjimoko kalau itu yang mau lo tanyakan."

Sepeninggal Quinsha, Devino menjambak rambutnya. "Shit," Lalu mengumpat.

Hentakan sepatu converse yang dipakainya terdengar hingga ke telinga Quinsha sendiri. Belum hilang perasaan jengkelnya, mendadak kaki kirinya salah mendaratkan pijakan di tangga. Akibatnya Quinsha terjatuh. Mungkin setelah insiden ini dirinya akan absen lama, atau selama-lamanya karena meninggal.

Tetapi bukan lantai dingin yang pertama kali ia cium, melainkan sesuatu yang empuk beraroma kayu.

"Aw,"

Itu ringisan seorang laki-laki. Quinsha memalingkan leher secepat yang dia bisa.

"Elo?!"

"Turun dulu, posisi kita enggak enak dipandang."

Gadis itu merotasikan bola mata. Kejengkelannya naik level. "Gue tahu!" Sewotnya.

"Hah!" Quinsha tertawa tidak percaya. Menunjuk Rama yang sedang merapikan seragamnya. "Adegan drama murahan macam apa barusan?"

Si pemuda nampak tidak peduli. Bahkan berniat meneruskan langkah menuju lantai atas.

"Hei, kalau orang tanya itu dijawab!"

Berjarak lima anak tangga, Rama berbalik. Tubuhnya yang memang sudah tinggi semakin menjulang kala saling berhadapan dalam posisi begitu.

"Sama-sama." Balasnya datar sembari berlalu.

Quinsha melongo. "Dasar alien! Tahu-tahu muncul gitu aja," Bibirnya mencebik sambil memunguti barang-barangnya yang terjatuh, "Trus apa katanya? Ketua Ketertiban? Cih, sekolah ini fisik doang yang bagus, mentalnya bobrok. Bukannya mengusut kasus tahun lalu malah bikin yang aneh-aneh!"

Yang tidak disadarinya, Rama kembali berhenti ketika di belokan yang menghubungkan lantai berikutnya. Beruntung keadaan sekeliling mereka sepi. Walau tidak melihat, Rama mendengar jelas tiap gerutuan Quinsha.

Sekolah yang fisiknya sempurna namun dengan mental bobrok. Rama membenarkan dalam hati.


***

ABS [1]: Princess In 24 Hours [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang