Bagian 12

16.4K 1.7K 133
                                    

Rama mengusap wajah usai berpaling ke kiri. Mengangkat kedua tangannya dan berdoa dengan khusyuk. Hal pertama yang selalu ia panjatkan adalah puji syukur atas nikmat yang hingga sekarang diperolehnya. Berikutnya meminta kesembuhan sang ibu.

Melakukan sujud syukur sebentar, Rama kemudian berdiri melipat sejadah dan menaruhnya di nakas kecil di samping tempat di mana ibunya berbaring.

"Bu ..." Rama menatap sayu wanita yang terpejam damai itu. "Rama rindu Ibu. Ibu cepet bangun, ya?"

Genggamannya kukuh, rapuh, juga tegas di saat bersamaan. Tanpa senyum hangat ibunya, dunia Rama murung. Seolah kertas putih bersih tanpa warna―atau hanya abu semata. Seolah sumber kekuatan beserta sinar cahayanya direnggut begitu saja.

"Hari ini Dira ikut lomba tari, Bu."

"Ibu tau nggak, Dira sekarang udah banyak tingkahnya. Dikit-dikit ngambek, dikit-dikit manja. Kata dia itu namanya mood swing-nya cewek, ya Abang kan mana ngerti, Bu." Rama terkekeh tetapi matanya redup. "Bu ... Maaf, ya. Rama belum bisa kasih apa-apa sama Ibu. Ibu harus sembuh supaya liat Abang sama Dira sukses. Ya, Bu?"

Tangan lelaki itu beralih mengusap pipi sang ibu yang semakin tirus. Lembut, hati-hati. Ibunya adalah hal terindah selain Dira adiknya yang Rama punya. Menunggu lebih lama demi kesembuhan, bekerja dan belajar giat, tak akan pernah membebani bila di masa depan nanti kedua perempuan yang Rama cintai sepenuh hati itu dapat menikmatinya dengan bahagia serta.

Getaran ponsel android model lamanya memutus lamunan. "Halo, assalamualaikum, Mbak?" Rama beranjak keluar ruangan.

"Waalaikumsalam, Ram. Lo masih di sekolahan, ya?"

Pemuda tersebut membenarkan letak kacamata. Sejujurnya Rama agak bingung kenapa Mbak Shinta―seniornya di Violet's Florist―menelepon padahal hari ini Rama sudah izin tidak masuk. Meski begitu ia tetap menjawabnya.

"Nggak, Mbak. Udah pulang, lagi di rumah sakit. Jenguk Ibu."

"Tadinya kalo sempet mampir sini. Tapi yaudah deh, gak papa."

"Ada masalah Mbak sama Florist?"

"Hah? Bukan, bukan. Ini loh si Wicak kan ultah, Ram. Jadi pengin dirayain katanya. Banyak gaya emang dia tuh dah bangkotan juga. Niatnya sih mau makan-makan biasa aja di restoran depan. Inget kan, Ram? Yang baru banget buka itu loh. Iiihhh pasti banyak promonya, deh!"

Sepertinya pengalaman minimnya mengobrol membuat pemuda tersebut gampang tertawa saat dirasa sepatah dua patah kata ternyata cukup menyenangkan kalau didengarkan saksama. Contohnya kata 'promo' Mbak Shinta yang disertai pekikan antusiasnya di akhir kalimat.

"Restoran Mas Lingga bukannya buka dua hari lagi ya Mbak?"

"Heh?! Demi apa Rama degem (dedek gemes) nya gue kenal sama yang punya!? Sumpah demi mulutnya Wicak yang bau api neraka―SEMBARANGAN LO!―Ram, tega bener ya gak cerita. Katanya dia ganteng loh ..."

Rama menjauhkan ponsel dua detik. "Iya, Mbak. Nanti saya cerita. Oh iya, selamat ulang tahun buat Bang Wicak, maaf gak bisa dateng. Semoga sehat selalu."

"Kesini, Ram! Temenin gue makan. Sekalian having fun cari mangsa di depan sono-Aduh bangsat kuping gue jangan ditarik Ta!!!"

"Kampret emang lo main serobot aja. Udah tua gak usah racuni yang masih muda, ya. Dosa namanya!"

Rama ketawa-ketawa. Tubuh jangkungnya sampai harus nunduk sedikit.

"Dah dulu Ram, di sini riweuh banget. Mana pelanggan banyak pula. Yaudah ya, assalamualaikum. Salam dari kami buat Ibu lo, lekas sembuh."

ABS [1]: Princess In 24 Hours [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang