Bagian 9

17.5K 1.8K 44
                                    

09.

Kemunculan Rama seminggu lalu membuyarkan segalanya.

Segala teori-teori Quinsha yang mulanya seratus persen merujuk pada anak-anak kalangan atas Pusaka, mendadak berantakan.

Untuk apa Rama ke sana, ke rumah orang tua Aurora? Sementara sejak dua bulan belakangan ini Quinsha―meski tak rutin, paling tidak dalam seminggu ia menyempatkan duduk di kafe atas rumah Mpok Juleha sebanyak empat atau tiga kali.

Mungkin memang ada yang terlewatkan. Mungkin memang Quinsha terlalu gegabah mengambil kesimpulan.

Tapi, tetap saja, bagaimana mungkin seorang ... Rama Erlangga Aditya? Ketua Ketertiban sekaligus anak beasiswa itu? 

Reaksi Quinsha mungkin tak akan sekaget ini bila yang muncul adalah Kevin Putra Handjaya yang juga menjabat sebagai ketua osis di Pusaka. Atau Galeo Tjandra si cowok paling merasa oke dan sering kali bertingkah semaunya. Kenapa? Sebab, mereka sama-sama golongan atas, probabilitas keduanya terlibat suatu kasus namun dilindungi hukum berkat koneksi orang tua lebih besar.

Jika sudah begini artinya Quinsha harus memutar otak, menyusun ulang strategi. Mengamati kediaman orang tua Aurora seminggu penuh pun rasanya mustahil untuk gadis itu, keadaan jantungnya semakin memburuk akhir-akhir ini. Alasan lainnya, Theo dan Raline pasti curiga kalau anak semata wayang mereka terlalu sering berkegiatan di luar rumah padahal les-les yang Quinsha ikut sudah tidak ada. Detektif swasta yang disewanya? Enggak, Quinsha malah berniat memutuskan kerja sama.

"Aaaarrrggghhh ... Why my brain can't stop thinking, why?!" Erangnya pelan.

Gadis itu membuka salah satu bilik toilet usai mendekam sepuluh menit lamanya. Bila pikirannya sedang bercabang seperti sekarang, terkadang Quinsha membutuhkan tempat-tempat sepi guna menjernihkan isi kepala. Dan tercetuslah toilet perempuan di jam sembilan lebih tiga puluh menit, setengah jam sebelum denting bel istirahat berbunyi.

"He's so cute! Gue setuju banget kalo lo jadian sama dia, Cill!"

Koridor mulai terdengar ramai oleh suara-suara langkah kaki serta obrolan-obrolan para murid. Quinsha menatap pantulan dirinya di cermin. Tangannya membetulkan letak blazer sekolah. Hari ini tampilannya seperti biasa, menawan, dengan rambut indah bergelombangnya yang dikepang satu juga bandana warna merah di kepala.

"Yeah, I know, Ellen. Dia emang gemesin."

"Then what you waiting for? You two gonna be the real definition of relationship goals, I swear."

Lalu Quinsha memoleskan pewarna bibir ke bibir tipisnya.

"You think so?"

"Everyone think so!" Seru Beby dan Ellen, Cecillia tertawa merona dibuatnya.

"Oh, hai, Quinsha!" Nadanya ceria, anehnya kedengaran menyebalkan.

Memasukan pewarna bibir tersebut ke saku seragam, dia lantas berpaling menatap balik Cecillia beserta kedua temannya yang selalu mengekori itu. Ketiganya kini mendekat.

"Lo udah punya kelompok buat praktikum Kimia besok?" Cecillia mencuci tangannya, menambahkan, "Kelompok gue masih butuh satu orang lagi, Ellen sama Beby nggak keberatan kalo lo ikut."

"No, thanks."

"Iya, Quin. Dari pada sendiri, kan, mending kita kerjain sama-sama. Bisa sambil hang out atau apa gitu." Beby menimpali disertai senyum lebarnya.

ABS [1]: Princess In 24 Hours [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang