Bagian 5

21K 2K 72
                                    

"She is a queen for herself, do not compare her."

―Princess In 24 Hours


Kedua telinganya tersumpal airpods yang melantunkan Cherry milik Lana Del Rey sehingga tidak memedulikan keadaan sekitar―dan memang begitu setiap kali Quinsha berada di sekolah, maksudnya selalu sendirian.

Menurutnya, sekarang mencari teman ternyata lebih menyusahkan ketimbang mencari musuh. Hebatnya lagi, musuh-musuh―atau mungkin Quinsha boleh memanggilnya anti-Quinsha―bertebaran di Pusaka. Jangan kira gadis itu tak tahu siapa yang ada di balik deretan akun fake yang sering men-stalkingnya. Quinsha tahu. Hanya saja, orang seperti mereka agaknya bila diladeni malah semakin menjadi.

Mendadak sesuatu menghentikan langkahnya. Hampir satu tahun terlewati, mengapa baru sekarang? Batinnya menjerit.

Wanita paruh baya berdiri tepat di depan gerbang sekolah dengan dua satpam yang coba mengusir. Sebuah papan bertuliskan "TOLONG TEMUKAN DAN HUKUM PEMBUNUH ANAK SAYA!" menggantung di lehernya.

Quinsha tanpa sadar meremas roknya.

"Ups, sorry."

Tidak ada gerak refleks, ponsel gadis itu langsung menyentuh tanah.

Satu detik

Dua detik.

Oke, Quinsha, rileks. Ingat, walaupun sering tidur sewaktu les tata krama, setidaknya ada pembelajaraan yang bisa diambil.

Berbalik badan, sepasang iris cokelat terangnya menyorot tajam. "Ambil."

Seakan tidak terima, Cecillia memegangi dada sambil tertawa―tidak tahu atas dasar apa. Quinsha mengkerut menatapnya. "That accidentally, really." Kilahnya.

Tarik napas, hembuskan. "Gue.bilang.am ... bil."

"Tapi Cecillia bilang dia―"

"AMBIL!"

Seolah baru mendengar petir di siang bolong, semuanya tiba-tiba berhenti. Para murid menjeda langkah mereka, saling adu pandang satu sama lain. Dan seperti sudah diatur demikian rupa, Quinsha, Cecillia beserta kedua teman Cecillia, Ellen juga Beby, seketika menjadi pusatnya.

"What?! Excuse me? Did you just―" Beby, si ombre terang merapatkan bibir ketika Quinsha meliriknya penuh peringatan.

"Urusan gue bukan sama lo."

Lambat laun rona Beby menghilang. Ellen yang melihatnya segera maju satu langkah, mengangkat dua tangan sejajar dada, "Hei, hei, easy, Quin. Kita―"

Quinsha sesaat mendengus. "Bisa nggak sih lo berdua gak ikut campur?! Pengin gue apain biar itu mulut pada mingkem?"

Cecillia berdecak. Ia menyuruh Ellen agar mundur. Berganti dirinya yang maju sehingga saling berhadapan dengan Quinsha.

"Gue minta maaf, tapi gue enggak mau ambil hape lo, oke?"

Balasan macam apa barusan? Dewi batin Quinsha mengoloknya.

Sang Ratu Sekolahan tidak terburu menjawab. Dia bersilang tangan, memiringkan kepala seraya memandang Cecillia kalem. "Oh, yes you want,"

Kejadiannya berlangsung sepersekian detik. Cecillia kecolongan dengan ketangkasan tangan Quinsha yang cekatan mengambil ponsel di saku baju seragamnya dan melemparnya ke tanah.

"Kita impas?"

Semuanya membuka mulut. Antara menyayangkan harga benda persegi canggih itu atau memang dengan keberanian Quinsha yang patut diacungi jempol.

"Quinsha!"

"Apa?" Dagu si pemilik nama terangkat. "Lo enggan ambil hape gue ya udah gue jatuhin juga hape lo."

Di masing-masing sisi tubuhnya Cecillia mengepal geram. "Kenapa lo bisa seberani ini sama gue? Kenapa Quin?!" Napasnya mulai memburu. Melangkah lagi. "Elo gak tahu siapa keluarga gue? Atau mau pura-pura enggak tahu? Hm? Kayaknya gue terlalu lembek sama lo sejak kelas sepuluh, ya?"

Tak ingin kalah, Quinsha pun ikut mendekat. Kini dua gadis itu betul-betul saling bertatapan.

"Maybe." Balasnya, senyum satu sudut bibir. "Tapi bukannya terlalu dini buat menyangkut pautkan nama keluarga Hutamadja? Who are you anyway?"

Sebuah pertanyaan yang telak membuat dada Cecillia berdebar kencang, liar. Kemarahan telah sampai ke tenggorokannya, siap ia muntahkan. Namun apa yang ingin dia bantah saat kata-kata tersebut menohoknya karena merupakan kebenaran?

"Ada apa ini kumpul-kumpul?"

Quinsha mencabut benda di telinganya, memasang tampang sedatar mungkin kala Guru Kedisiplinan muncul di tengah kerumunan murid-murid.

Beby beserta Ellen menarik mundur posisi Cecillia.

"Quinsha?"

Ia tersenyum. "Enggak ada, Bu."

Alia―Guru Kedisiplinan berusia kepala empat dengan garis wajah tegas juga kacamata itu memicing. Mengedar, kemudian pandangannya tertuju ke tanah.

"Kalian sengaja menjatuhkan handphone? Buat apa? Adu produk?"

Tidak ada yang menjawabnya. Sang Guru melanjutkan, "Padahal sama mereknya. Aneh-aneh saja kalian ini."

"Kami bertengkar, Bu. Cecillia nabrak saya sampai bikin hape saya jatuh."

"What the f―" Cecillia menahan umpatannya. "Bu! Tapi Quinsha juga balik jatuhin hape saya, Bu."

Di hadapannya Quinsha mengangguk santai. "Of course. Di mana letak keadilannya kalau gue diam aja, kan?"

"Ap―"

"Yaampun, sudah-sudah!" Bu Alia berjinjit, lima detik berikutnya memanggil nama seseorang. "Rama! Rama Erlangga Aditya!"

Secara otomatis kepala Quinsha tengadah. Ada basa-basi panjang menyebalkan yang harus dihadapinya setelah ini.

"Iya, Bu Alia?"

Guru itu mengibaskan tangan ke arah para siswinya yang berbuat keributan. "Tolong, Ram, Ibu lagi pening, banyak urusan juga. Tolong kamu sebagai Ketua Ketertiban kasih teguran atau apa pun deh, Ibu serahkan semuanya sama kamu ya."

Tidak tega melihat wajah kuyu gurunya, Rama pun mengangguk tanpa berpikir lagi. "Baik, Bu. Hari ini apa besok?"

"Terserah kamu. Tapi hari ini lebih bagus, supaya besok kamu datang ke sekolah langsung belajar enggak perlu pikirin ini itu." Sekali lagi, Rama mengangguk patuh.

"Ya sudah, Ibu pergi." Lantas menunjuk para murid yang belum beranjak membubarkan diri. "Ayo, ayo, yang lainnya pulang juga kalau nggak mau dihukum!"

"Iyaaa, Ibu ..."

Sepeninggal Guru Kedisiplinan, Rama beralih berjongkok, memungut dua ponsel yang tergeletak di sana. Mengacungkannya ke udara sembari berkata, "Ini kalian bisa ambil di ruang kedisiplinan, sebelah perpustakaan, lantai dua, sebelum jam lima hari ini. Ditunggu kehadirannya, teman-teman."

ABS [1]: Princess In 24 Hours [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang