Bagian 17

16.5K 2K 175
                                    

“sometimes she hate herself, but she has the power that no one can ignore.”

—Princess In 24 Hours

Langit tidak secerah tiga puluh menit lalu. Lingga sudah pulang lebih dulu bersama Rama, sementara Quinsha harus menunggu jemputan. Gadis yang masih memakai seragam sekolah itu memutuskan menunggu di taman yang jaraknya lumayan dekat dengan restoran tadi.

Kepalanya terkulai lemas di sandaran kursi taman yang terbuat dari besi. Usai meminum obatnya, Quinsha memilih berdiam tanpa melakukan apa pun. Menikmati semilir angin yang menerbangkan rambut indah bergelombangnya.

Namun tak berselang lama tubuhnya tegap lagi ketika merasakan sesuatu bergerak menuju pundaknya.

“Who the—elo?”

Sosok Rama terdiam sesaat. Jaket yang baru akan disampirkannya ke pundak gadis itu mendadak berhenti di udara. “Maaf bikin kamu kaget.”

Raut tegang Quinsha berangsur hilang. “Gue kira orang jahat.” Lantas mengambil jaket tersebut dan memakaikannya sendiri.

“Makasih. Gue emang lagi kedinginan.”

“Sama-sama.”

“Gimana bisa lo di sini?” Tanya Quinsha saat Rama malah duduk di sebelahnya.

“Jalan. Jaraknya cukup deket dari restoran barusan.”

Bola matanya spontan memutar. “Bukan itu maksudnya. Lo gak jadi nebeng Lingga?”

Lelaki tersebut menggeleng. “Nggak.”

“Why?”

Melalui ekor matanya Rama menatap si perempuan sekilas. “Nggak aja.” Jawabnya datar.

Sebab tentu saja Rama tidak mungkin mengatakan bila sejujurnya ia khawatir melihat Quinsha berjalan sempoyongan begitu keluar restoran.

Tiba-tiba saja rasa penasaran itu muncul. Tentang mengapa gadis itu ingin selalu terlihat kuat namun sebenarnya butuh bantuan orang lain?

“Boleh tanya sesuatu?”

Quinsha seketika mengalihkan perhatiannya. Memandang Rama dengan tangan terlipat di dada. “Go ahead.”

“Kamu gagal jantung?”

Ekspresinya berubah. Rama tidak dapat menjelaskannya, tetapi cukup paham jika pertanyaannya memiliki pengaruh besar.

Lalu sedetik kemudian wajah Quinsha menjadi biasa kembali. Bahkan senyum simpul terukir di bibirnya. “Hm. Gue harap lo bisa simpan fakta itu rapat-rapat. Jangan sampai orang lain, terutama Cecillia atau siapa pun tahu.”

“Ibu saya juga gagal jantung.” Ungkapnya.

“Oh ya?”

“Waktu saya antar kamu ke rumah sakit, Ibu saya juga dirawat di sana.”

Hening.

Merasa ada yang janggal Rama pun menengok dan mendapati Quinsha tengah melamun terpaku pada sepatunya.

“Kamu—”

“Lo mau jadi pacar gue?”

“Maaf?”

Quinsha mengangkat kepala, menatap Rama lama sebelum akhirnya tertawa pendek. “Udah gue prediksi, reaksi lo pasti kayak gini.”

“Kamu mau saya jadi pacar kamu?” Si pemuda bertanya memastikan. Siapa tahu telinganya bermasalah.

“Lo mau?” Perempuan itu balas bertanya sambil menyeringai.

“Nggak.”

Kontan saja Quinsha mendelik. “Cih, sok jual mahal.”

Rama mengangkat kedua alisnya. “Saya gak jual mahal. Saya cuma kurang suka sikap kamu.”

“Excuse me?” Kini mereka saling berhadapan dengan Quinsha yang nampak tersinggung. “I would be nice to people if they were also nice to me.”

“Tapi sikap kamu ke semua orang sama.”

“Artinya ya mereka semua emang nyebelin.”

“Termasuk saya?” netra gelap itu memandanginya, meminta jawaban.

Quinsha segera buang muka. “Termasuk lo.” Jawabnya cuek.

Rama tidak berkomentar. Selama beberapa menit mereka membiarkan bisingnya kendaraan mendominasi.

Ingatan yang ingin dikuburnya dalam-dalam itu tanpa bisa dikendalikan muncul ke permukaan. Membawa hantaman menyakitkan juga beban pada diri Quinsha. Persis seperti lampu di sudut taman yang muram, setidaknya begitulah harapan. Walau tak seberapa, setidaknya masih ada, bukan?

ABS [1]: Princess In 24 Hours [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang