Bagian 10

16.8K 1.7K 52
                                    

10.

Usianya baru menginjak delapan belas tahun satu hari lalu. Masih terlalu dini membicarakan tentang manis pahitnya kehidupan. Tetapi setidaknya Rama tahu, hidup yang dijalaninya memiliki medan yang cukup berliku dari remaja kebanyakan. Ia kehilangan figur seorang Ayah sejak umurnya sepuluh tahun. Ibunya mempunyai riwayat gagal jantung dan telah dirawat dari setahun lalu. Adik semata wayangnya, Dira, pun masih bersekolah. Tahun ini kelas tiga sekolah menengah pertama.

Rama harus ikut berkompetisi dalam dunia kerja meski ia masih bersekolah. Rama sadar itu pilihan satu-satunya untuk bertahan hidup. Om Dimas dan Tante Bunga―yang mana adalah orang tua dari Aurora Gita Maheswara―tidak mungkin melaksanakan yang bukan kewajiban mereka kendati Rama juga Dira merupakan keponakannya.

Rama tidak ingin menggantungkan nasibnya kepada orang lain. Jadi, dirinya memutuskan mencari pekerjaan semenjak kelas dua SMA.

Tak mudah. Status pelajarnya yang acap kali menjadi halangan terbesar. Rama pernah melamar di toko ritel dekat pemukiman rumahnya sampai yang terjauh, tapi tetap ditolak begitu tahu masih berseragam sekolah. Pun begitu dengan menjadi tukang cuci piring di sebuah restoran di kawasan Jakarta Pusat, Rama pernah mencobanya. Tetapi berhenti setelah dua minggu bekerja. Kali ini kendalanya jarak rumah yang jauh dan jam kerja yang menyesakkan bagi pelajar sepertinya.

Remaja itu tidak menyerah. Rama mencari lagi pekerjaan yang sekiranya seimbang. Tak masalah kalau gajinya di bawah UMR asalkan Rama bisa meminta keringanan waktu untuk dibagi bersama jam belajarnya.

Di sini lah ia berada. Violet's Florist. Toko bunga di mana Rama menghabiskan sebagian waktunya sepulang sekolah dan hampir full time bila Sabtu Minggu―tergantung Senin-nya ada kuis, tes, ujian atau tidak. Kadang kala Rama juga membawa serta buku pelajarannya, membaca dan mengerjakan soal kalau senggang.

Beruntungnya, Violet's Florist memberi gaji berdasarkan standar yang ditetapkan oleh pemerintah Kota Jakarta.

"Assalamualaikum ya ahli kubur ..."

Kepala Rama otomatis menengadah. Wicak―Rama lebih suka memanggilnya Abang Wicak―menyapa sambil mendekat ke bangku tempatnya duduk.

"Lagi ngapain nih Bapak Haji sendirian aja di taman belakang?" Wicak merangkul akrab bahu lebar pemuda yang lima tahun di bawahnya itu. "Gue udah makan siang lo ngapa masih di mari?"

"Ngerjain tugas, Bang."

"Mana sini liat, siapa tau gue bisa kerjain." Tanpa basa-basi Wicak merebut buku di tangan Rama. Hanya tiga detik, berikutnya lelaki berambut gondrong diikat itu menyerahkannya kembali. "Gak ngerti Kimia anjir."

Rama tergelak. "Ini Fisika, Bang."

"Hah iya emang?" Katanya melongok ke buku sesaat. Lantas menyengir. "Gue lupa, maklum anak IPS dulunya."

Rama menunduk sembari senyum simpul. Jemarinya yang besar lihai mencoret sana-sini, Wicak mengamatinya dengan dahi berkerut tak paham.

"Ini maksudnya apaan, Ram?"

"Mana?"

Wicak menunjuk kertas lain di tangan kiri Rama, itu lebih ke kumpulan teori dan rumus yang di print out. Sementara buku bersampul cokelat yang diletakkan di paha kanan Rama―yang sempat direbutnya, berisi soal yang jawabannya masih sedikit. "Ini yang mirip grafik, Ram. Kok ada bulet-buletnya, lucu."

"Oh ... ini sih memang grafik, Bang. Grafik Spektrum Radiasi Benda Hitam yang menggambarkan antara tiga teori, di sini teorinya Rayleigh – Jeans, Max Planck sama Wilhelm Wien. Jadi teori mereka itu menjelas―"

ABS [1]: Princess In 24 Hours [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang