Dia Sudah Pergi

42 11 2
                                    

Suara alat pendeteksi detak jantung yang putus-putus seolah menjadi nyanyian di ruangan bernuansa putih itu. Di atas brankar, tertidur seorang perempuan yang berusia 17 tahun, wajahnya sudah sepucat kertas. Di sampingnya, ada seorang laki-laki yang menggenggam erat pergelangan tangan perempuan itu. Enggan untuk melepaskannya, sama sekali tidak sanggup.

"Sof, bangun..." ucap laki-laki itu dengan suara lirih, berlomba dengan sepi.

"Udah bulan ke berapa kamu tidur terus kayak gini?"

Hening. Tidak ada yang menyahut. Semua pertanyaan itu hanyalah menjadi percakapan satu arah, tidak ada balasan dari lawan bicara. Kira-kira, sudah sekitar enam bulan laki-laki itu melakukan kegiatan seperti ini, menjenguk kekasihnya, dan berharap bahwa dia akan kembali membuka mata.

Pintu ruangan terbuka, terlihat perempuan yang usianya lebih kurang sama seperti dia yang tertidur di atas brankar. Perempuan itu tersenyum kikuk, malu karena lupa mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk ke ruangan yang ternyata ada orang di dalamnya.

"Maaf, ya, saya lupa ketuk pintu," ujarnya pada laki-laki itu.

Laki-laki itu tersenyum balik, tidak terlalu mengambil pusing tentang tindakan itu.

"Raffi, ya? Pacarnya Sofi?"

Laki-laki itu mengangguk mengiyakan, "Lo siapa?"

"Mutiara, panggil Muti aja, gue sahabatnya," balas perempuan yang bernama Muti itu sambil mengulurkan tangan, dibalas dengan ramah oleh Raffi.

"Sahabat?" Raffi membeo, "Nggak pernah gue lihat."

Muti mengembangkan senyumnya, "Sahabat kecil, gue baru pulang dari Singapur."

"Oh," Raffi mengangguk-anggukkan kepalanya.

Setelah itu hening. Tidak ada lagi yang berbicara, keduanya sibuk memerhatikan Sofi yang masih saja tertidur lemah tidak berdaya.

"Gue sama Sofi udah kayak saudara, kalo salah satu dari kita sakit, kita pasti dateng untuk ngejenguk." Muti bercerita, memecah keheningan, "Makanya, meskipun gue lagi sibuk sama sekolah di Singapur, gue sempetin waktu untuk sekedar balik ke Jakarta, ngejenguk sahabat—sodara—gue."

Raffi tidak tahu ingin menanggapi apa, oleh sebab itu, dia hanya bisa menggumam tidak jelas. Muti melihat Raffi yang pandangannya tidak bisa terlepas dari Sofia, entah kenapa ... ada perasaan aneh. Rasa itu muncul, entah apa sebabnya. Muti menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran yang seharusnya tidak dia pikirkan.

Sofi milik Raffi, begitu juga sebaliknya.

Raffi menangkap gelagat aneh dari Muti. Raffi sendiri tidak mengerti apa yang terjadi dengan Muti, tetapi Raffi juga merasakan hatinya bergemuruh. Tidak. Bukan gemuruh cinta. Rasanya tidak sama dengan gemuruh yang dia rasakan jika ada Sofi. Gemuruh ini ... sulit untuk didefinisikan.

Persis dua detik setelah gemuruh itu datang, suara elektrokardiograf menjadi mendengung.

Baik Raffi maupun Muti langsung termangu di tempat mereka masing-masing. Keduanya menjadi patung hidup dalam waktu sepersekian detik, mencerna apa yang baru saja terjadi. Raffi melemas, Muti menangis.

[]

2 bulan setelah kepergian Sofia...

Raffi menyesap kopi hitamnya di salah satu kafe yang berada di kota Bogor. Setelah berpulangnya kekasih ke tangan Tuhan, Raffi seperti kehilangan semangat hidupnya. Laki-laki itu membakar habis semua kenangannya bersama Sofi dan memutuskan untuk pindah ke kota hujan ini.

Sekarangpun masih sama, Raffi sudah seperti patung hidup. Raganya memang berada di sini, tetapi jiwanya? Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Dalam kurun waktu dua bulan, Raffi seringkali memikirkan rencana pembunuhan diri—demi menyusul kekasihnya di Surga. Tetapi, selalu saja rencana itu gagal.

Di mulai saat hari pertama setelah meninggalnya Sofi, laki-laki itu meminum racun tikus, tetapi masih terselamatkan karena adiknya langsung menemukan dia terkapar di lantai rumah. Kedua, satu bulan setelah meninggalnya Sofi, Raffi mengambil silet dan menyayat nadinya, tetapi ada saja yang menghalanginya, yaitu Gema, teman satu kampusnya.

Mungkin, hari ini akan menjadi percobaannya yang ketiga.

Raffi mengambil obat tidur berdosis tinggi yang tadi sempat dia beli di apotik dekat kafe dari saku celananya. Laki-laki itu mengamati obat tersebut tanpa berkata-kata. Raffi menghembuskan nafasnya kasar. Semoga berhasil, batinnya.

Raffi mencampurkan obat tersebut ke dalam kopi paitnya dan mengaduk-aduk sampai sekiranya sudah tercampur rata. Laki-laki itu mengangkat cangkirnya, hendak mengarahkan ke arah mulut dan meminumnya, tetapi sepersekian senti dari cangkir itu akan menyentuh bibir, seseorang dari arah kanannya menahan tangan tersebut untuk bertindak lebih jauh.

"Muti?" ucap Raffi tak percaya akan kehadirannya.

"Masih belum bisa move on?" tanya Muti dengan tawa masamnya.

Raffi tersenyum pahit, laki-laki itu menaruh lagi cangkirnya di meja. Entah mengapa, Raffi mengurungkan niatnya untuk melakukan hal konyol tersebut. Melihat Muti, Raffi menjadi sedikit lebih tenang.

"Boleh duduk 'kan, ya, gue?" tanya Muti retoris dengan candaannya.

Raffi mengangguk, mempersilakan Muti untuk duduk di kursi seberangnya. Raffi dan Muti mengangkat tangan, memanggil pelayan bersamaan. Keduanya tertawa atas kekonyolan mereka, tetapi mereka juga tidak terlalu ambil pusing—mungkin kebetulan.

Raffi memesan kopi hitam, sedangkan Muti memesan caramel macchiato. Kopi hitam yang sudah dicampur dengan obat tidur berdosis tinggi itu dia biarkan, tidak diacuhkannya lagi.

"Sofi sering banget cerita soal lo ke gue, Mut."

"Sebenernya, ada yang gue pengin omongin tentang Sofi ke lo, Raf."

Raffi dan Muti saling tatap ketika keduanya mengucap kalimat itu secara bersamaan. Muti menggigit bibir bawahnya, sadar bahwa mungkin belum saatnya. Tetapi, bibirnya sudah terlebih dahulu berkata.

Raffi menatap kedua manik mata Muti dengan dalam, mencoba mencari-cari informasi apa yang kira-kira disembunyikan oleh Muti dan juga Sofi. Karena tidak menemukan apa yang dia cari selain rasa takut di dalam mata perempuan itu, Raffi menanyakannya langsung.

"Apa?"

Muti merasa terintimidasi dengan tatapan Raffi. Tajam dan menusuk sampai membungkam bibirnya untuk bicara.

"Maaf kalo ini terkesan terlalu cepet." Muti meneguk salivanya lamat-lamat, kata-katanya tertahan di kerongkongan.

"Apa, Mut? Bisa tolong dipercepat?"

"Sumpah, maaf banget, Raf." Muti hanya bisa meminta maaf tanpa memberi tahu sebab akibatnya.

"Apa, Mut?!" tanya Raffi dengan nada suara meninggi, kesal karena tidak jelas seperti ini.

"Sofi—" sekali lagi, Muti menelan salivanya lamat-lamat, "Sofi bilang, kalo gue harus jagain lo, maksudnya ..."

Raffi berdiri dari tempatnya, tidak sanggup lagi untuk mendengar kelanjutan kalimat dari bibir tipis Muti. Laki-laki itu meletakkan selembar uang seratus ribu rupiah, pergi meninggalkan Muti dengan perasaan yang bercampur aduk.

[]

Mutiara Novita added you as a friend.

Mutiara Novita: Maaf soal di kafe td

Mutiara Novita: Gue cm nyampein
Read
01:35am

##

FRAGMEN KEHIDUPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang