[2] Tumpangan Saat Hujan

236 28 3
                                    

"Non Dara mau mamang antar?" Mang Saib, sopir pribadi keluarga Dara berdiri di samping Dara yang sedang memasang sepatu.

"Tidak usah, mang... Dara mau naik bus saja. Nanti, kalau busnya tidak ada, mamang bisa mengantar Dara," Dara berdiri. Tersenyum kepada Mang Saib. "Mama udah berangkat ke kantor?" Dara bersungut-sungut menatap seisi rumah.
"Iya. Beliau katanya ada pertemuan dengan klien penting jam setengah tujuh. Nyonya minta saya mengantar non Dara."
"Sroooohh..." tiba-tiba, hujan turun dengan lebat. Membuat Dara berubah pikiran. Dara tersenyum. Berlari menuju mobil. Mang Saib memencet tombol open di kunci mobil. Dara segera membuka pintu.
"Mang Saib, ayo..."
***
Jarak rumah Dara dengan sekolah tidaklah begitu jauh. Kira-kira hanya 800 meter. Tidak cukup satu kilo meter. Dara lebih suka pulang sekolah berjalan kaki bersama beberapa teman barunya disini. Sedangkan saat pergi sekolah, selalu dianatar oleh Mang Saib, kecuali saat Mang Saib cuti. Di tengah perjalanan, Dara melihat seorang pria turun dari mobil. Berjalan cepat menggunakan payung.
"Sepertinya aku pernah melihat dia. Tapi dimana?"
"Ada apa, non?" Mang Saib menatap Dara ke belakang dari kaca di atas sopir.
"Itu Kak Deo," Dara membuka kaca. "Mang, berhentiin mobilnya, itu kakak kelas Dara." Dengan sigap, mang Saib menghentikan mobil.
"Kak Deo..." Dara melambai tangan dari dalam mobil. Deo mencari sumber suara. Ia melihat ke dalam mobil. Nampak olehnya Dara sedang melambai tangan kearahnya.
"Kak Deo ngapain turun dari mobilnya? Trus, jalan kaki pakai payung." Dara bertanya dengan sopan.
"Bensin mobil aku habis," Ia menjawab seadanya. Menahan dinginnya air yang mencripati punggunya. "Untung aku bawa payung." lanjutnya.

"Kalau begitu, kak Deo naik aja ke mobil Dara. Kak Deo duduk di depan. Di sampung mang Saib," Dara menunjuk mang Saib. Ia tersenyum ke arah Deo.

"Daripada kak Deo tambah basah." Dara nyegir. Menatap Deo yang menyandang tas di depan dadanya. Deo berpikir sejenak. Kemudian, mengeluarkan suara.
"Dara, Mang Saib. Aku numpang, ya..." Deo tersenyum. Membuka pintu mobil.

Tak lama, mereka tiba di sekolah. Mang Saib mengemudikan mobil Innova hitam itu menuju koridor sekolah.

"Alhamdulillah. Sudah sampai." Mang Saib menghentikan mobil.

"Mang Saipul, Dara, makasih, ya..." Deo tersenyum.
"Sama-sama kak Deo." Dara nembalas senyumannya.
"Bukan Saipul. Perkenalkan, Saib." mang Saib menjabat tangan Deo.

"Hehe.. Maaf mang Saib, aku lupa." Deo nyengir. Menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Mamang berangkat dulu, ya... non Dara yang rajin belajarnya. Suapaya tambah pinter. Dapat nilai bagus. Menjadi kenanggaan keluarga non." Mang Saib tersenyum,menghidupkan mesin. Mobil hitam itu melaju.

Mereka menatap mobil itu yang semakin jauh. Tak lama, Deo berbicara, "Kamu bukannya Dara yang waktu itu, kan? Yang...." Deo belum memyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba dipotong oleh Dara.
"Yang berteduh di halte dengan kak Deo." Dara tersenyum.
"Ternyata kamu masih ingat. Bay the way, Mang Saib itu siapanya kamu?"
"Mang Saib itu supir pribadi keluarga aku, kak." Dara tersenyum.
"Hmm.. apa kamu udah lupa ?" Deo menata Dara.
"Maksud kakak, lupa apa?"
"Waktu itu aku minta kamu jangan panggil 'kak'. Panggil aku Deo saja." Deo tersenyum. Meninggalkan Dara yang berdiri mematung. Mulutnya sedikit terbuka. Menatap punggung Deo yang semakin jauh.
"Ups.. Aku lupa..." Dara nyengir. Menatap Deo yang telah menghilang.
"Eh, tapi aku kok nggak canggung, ya jika bicara dengan kak Deo. Eh, Deo maksudnya. Biasanya, kalau aku bicara dengan laki-laki, aku pasti canggung. Kecuali dengan papa dan Mang Saib. Tapi... Kenapa kalau dengan Deo aku tidak canggung?" Dara berkata dalam hati. Tak lama, bel pun berbunyi. Menandakan KBM segera dimulai.
.
Bersambung
Terimakasih sudah baca cerita aku. 😁
Jangan lupa vote dan follow aku, ya..
Nantikan terus kelanjutannya. 😊😊

Stories with Rain [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang