[5] Lupa

123 17 0
                                    

"Kalau aku numpang denganmu pergi ke sekolah tadi pagi," Deo menghirup udara yang dingin. Kemudian, menghembuskannya.

"Bensin mobil aku kan habis," lanjutnya menatap sekilas ke arah Dara. Lantas kembali menatap jalanan.

"Wah... ternyata hobimu menundukkan kepala saat berbicara, ya?" Deo tertawa kecil melihat Dara yang masih menunduk memainkan genangan air.

"Atau kau suka main genangan air. Tadi, aku perhatikan saat kau disumpah-serapahi Fadel, kau hanya menunduk. Memainkan genangan air. Sekarang juga begitu. Tapi, situasinya berbeda." Deo kembali tertawa.

Menyadari Deo yang menertawakannya, Dara yang sedang menunduk, lantas tersenyum. Pandangannya lurus kedepan. Tidak menatap Deo.

"Aku melakukannya untuk menghilangkan grogiku." Ujarnya pelan. Ntah Deo mendengarnya atau tidak, ia tidak tahu.

"Apa? Aku tidak mendengarnya." Deo terkekeh ringan.

DUAR!!

Petir berdentang keras. Mengagetkan mereka berdua. Dara menegadahkan kepalanya ke atas. Langit terlihat gelap. Seperti jam enam sore. Ia takut jika ia tak bisa pulang. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Perasaan Dara semakin merasa tidak tenang.

"Dara, aku beli bensin dulu, ya.. tolong jagain tas aku. Aku takut buku-bukuku basah nantinya. Kalau nunggu hujan reda, kayaknya nggak bakalan reda sampai jam enam nanti."
"Deo ma--" Dara belum menyelesaikan kalimatnya. Tiba-tiba Deo meletakkan tasnya di atas paha Dara. Ia berlari menembus hujan ke arah Pertamini yang jaraknya hanya 100 meter dari sekolah mereka. Tak lama, Deo kembali membawa dua dirgen berisikan minyak tanah berukuran satu liter. Ia kembali dengan membawa payung yang ia pinjam dari pemilik Pertamini itu. Kemudian, ia mengambil tasnya yang dititipkan kepada Dara.

"Terimakasih, Dara..." Deo segera berlari. Menuju mobilnya yang kehabisan bensin.

Sekitar tiga pulih lima menit lebih Dara sendiri di halte itu. Hujan belum menandakan akan reda. Air sudah mulai menggenangi jalanan setingi tiga cm. Ia berharap Deo akan kembali ke halte itu dan akan mengantarnya pulang. Namun nihil. Dia sendiri sekarang. Hujan semakin lebat.

"Aku sendiri sekarang. Apa yang harus aku lakukan? Bus tidak ada dari tadi. Ojek pun sudah tidak ada lagi karena hujan terlalu lebat." Dara memandangi langit yang tak henti-henti menurunkan air. "Mama pasti bakalan lembur sekarang. Mang Saib cuti untuk hari ini. Tadi pagi ia mengantarku, karena mama yang menyuruh mang Saib hanya mengantarku. Tapi tidak menjemputku. Handponeku tertinggal di rumah. Aku tidak bisa mengabari siapapun. Tidak ada pilihan lain. Sudah pukul setengah lima sore lewat lima menit. Aku akan terobos hujan ini. Aku tak ingin berlama-lama disini. Aku harus jalan kaki. Menerobos hujan yang lebat ini." Dara membulatkan tekadnya untuk berjalan kaki menuju rumahnya. Menerobos hujan tanpa payung. Memutuskan lewat di sela-sela atap toko dan rumah penduduk, serta di bawah pohon. Setidaknya bisa mengurangi banyaknya air yang akan membasahi dirinya. Ia memasangkan mantel khusus tas pada tasnya, lantas senyum miris, "Aneh. Tas saja aku bawa mantelnya. Masa aku nggak bawa payung atau mantel? Huft..." Ia menggelengkan kepalanya lemah. Kemudian, ia mulai berjalan menerobos hujan.

"Piiipp.." Suara klaksoon mobil tepat berada di belakangnya. Membuat Dara kaget.

"Cepat! Masuk! Kau bisa kebasahan disana." Seorang pria yang mengendarai mobil itu mendongakkan kepalanya keluar. Menyuruh Dara memasuki mobil tersebut. Dara membalikkan badannya ke belakang. Menatap pria itu. Senyumnya merekah.

"Deo?"

"Kau ingin terus ingin berada disana atau naik? Kalau ingin terus disana, aku ak--" Deo tidak ingin melanjutkan kalimatnya. Karena ia sudah tau jawaban dari Dara yang menghampiri mobilnya. Dara membuka pintu depan mobil CR-V Deo. Lantas duduk disamping Deo. Ia melihat Deo sekilas. Sedangkan Deo menatap lurus ke depan. Menghidupakan mesin mobil. Kemudian memegang stir kemudi.

Stories with Rain [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang