[4] Kisah Bersama Hujan

150 17 1
                                    

"Kamu nggak apa-apa Dara?" Deo mengulurkan tangannya kepada Dara.

"Kak... eh.. Deo.." Dara linglung. Grogi menatap Deo. Ia tak membalas uluran tangan Deo.

"Parah, lo Yo. Sahabat sehati sejantung sejiwa sehiduplo nggak ditolong. Malah nolongin adik kelas," Fadel bangkit dari posisi jatuhnya. Mengibaskan telapak tangan pada celananya yang kotor dan basah. "Lo juga, nggak nolongin gue." Fadel menatap Rian sinis. Kemudian, ia mengambil kardus yang ditutupi kantong kresek.
Tanpa membalas uluran tangan Deo, Dara yang dalam posisi terduduk, bangkit dari duduknya. Hanya sedikit roknya yang basah.

"Kenapa kamu nggak balas uluran tangan aku?" Deo mengepal tangannya lemah. Menatap Dara yang masih tetap diam.
"Maaf, D.. d... deo.. ng.. nggak muhrim" Dara menunduk menatap genangan air hujan yang kotor bercampur dengan tanah. Kali ini dia grogi jika berbicara dengan Deo.

"Cup-cup-cup... kasian banget." Rian menekan intonasinya.

"Ih, apaan sih." Deo menatal Rian sinis.

"Btw, lo kenal dia?" Rian terheran menatap Dara dan Deo bergantian.

"Panjang ceritanya." Jawab Deo malas.

"Oo.. jadi ini Dara yang lu bilang tadi.." Rian menatap Dara yang sedang menunduk.

"Monyet! Gue jadi kacang. Ini gara-gara lo. Ngapain lo menghambat jalan gue." Rian menatap Dara yang menunduk dengan tatapan sinis.

"Del, apa yang terjadi?" Deo mengalihkan pandangannya ke arah kardus yang dilapisi kantong kresek merah.

"Tanyain dia tuh!" Fadel menunjuk Dara. Tanpa basa-basi, Deo langsung menatap Dara.

"Dara, apa yang terjadi?"

"Tadi, saat aku berjalan disini, sebelum memasuki kantor guru, tiba-tiba kakak ini menubrukku. Saat itu lantainya licin. Dia berlari terlalu kencang sehingga dia tidak melihatku, lantas menubrukku. Lalu, kami terjatuh," Dara menjawab pertanyaan Deo sambil mengosokkan tissue yang diberikan Rian ke roknya. "Terimakasih, kak." Dara tersenyum kepada Rian.

"Untung saat itu tidak ada orang. Kalau ada orang, mati gue. Sakitnya bisa ditahan, tapi malunya itu.." Fadel menatap Dara sinis. Dara menundukkan kepalanya. Karena ia tau, Fadel sedang menatap sinis padanya. Lagipula, ia tak berani menatap ketiga seniornya itu. Karena ia tahu, posisinya hanya sebagai adik kelas.

"Ah... lo kayak anak kecil aja. Terjatuh gutu doang dibesar-besarin." Rian mengomeli Fadel.

"Ini apa?" Deo bertanya kepada Fadel. Ia mengangkat kardus yang dilapisi kresek.

"Buku tugas." Fadel menjawab malas.

"Tumben." Rian melipat tangannya di dada.

"Deo sendiri yang bilang kalau kita harus tekun. Gue ingin berubah. Gue Ingin mengerjakan tugas ini. Gue ingin diterima di universitas itu. Tadi gue pergi ke kantin untuk minta kantong kresek ke Mbok Rah. Supaya bukunya tidak kebasahan. Kemudian, setelah itu, gue menuju ruang guru. Dan menganbil buku tugas di atas meja Pak Bambang. Gue sengaja pake kardus biar bukunya nggak rusak. Karena semangat ingin mengerjakan tugas ini, gue berlari menuju kelas. Tiba-tiba ada dia. Dia yang sala..." Fadel belum menyesaikan kalimatnya, dipotong oleh Dara.

"Kakak-kakak kelas, Aku ke kantor guru dulu, ya.." Dara tersenyum. Berlalu meninggalkan ketiga siswa tersebut. Deo menatap punggung Dara yang membelakanginta. Menjauh darinya. "Gadis yang baik." Ia tersenyum kepada Dara yang telah lenyap dari pandangannya.

"Tanggung jawab lo woy!" Fadel menyipak genangan air dengan kaki nya. "Buset. Basah sepatu gue. Hari ini sial banget nasib gue." Fadel terus bersumpah serapah untuk Dara. Menyebut nama hewan apun yang diingatnya

"Udah, ah... ayo ke kelas. Kayak anak perempuan lo tau gak," Rian menarik tangan Fadel. Mereka berjalan seiringan. "Yo, cepat. Kita harus membuat tugas dari pak Bambang." Rian menoleh ke belakang. Menatap Deo yang melamun memandangi ruang guru.

"DEO ANANDO. KATANYA DISIPLIN. AYO CEPAT!!" Rian menyoraki Deo. Mengejutkan Fadel yang masih menyumpahi Dara.

"GUE TERKEJUT, ADRIAN..." Fadel bersorak di kuping Rian. Lantas, Rian terpelonjak kaget.

"HEY! KALIAN NGGAK BELAJAR? NGAPAIN BERSORAK DISANA? PERGI! YANG LAIN BUTUH KONSENTRASI BELAJAR!" Tiba-tiba, seorang guru datang membawa penggaris papan tulis.

"KAABUURR.." Rian berlari menuju kelas 12 MIPA 2. Disusul Fadel dan Deo.

***
Pukul setengah tiga sore. Sebagian murid SMA Dwiwarya sudah pulang. Sekarang memang musim penghujan. Hujan masih belum puas membasahi semua yang dilaluinya. Sebelumnya, pada pukul 10 pagi, hujan sudah mulai mereda. Namun, 30 menit kemudian, hujan kembali tiba. Dara yang tidak ingin dijemput Mang Saib terpaksa harus menunggu. Ia lupa membawa payung. Seperti sebelumnya, ia kembali berteduh di halte. Teman-temannya yang biasa jalan kaki dengan Dara mengajaknya untuk pulang bersama. Namun ia menolaknya. Ia tak mau merepotkan temannya karena ia tidak membawa payung. 25 menit Dara duduk di halte ini. Sedikit membuahkan hasil. Hujan sudah mulai mereda. Menyisakan rintik-rintik air yang tidak bosan turun semenjak tadi pagi. Dara menggosokkan kedua telapak tangannya. Melakukan hal yang sama, seperti yang ia lakukan saat berteduh dengan Deo saat itu. Tiba-tiba, ia teringat Deo.
"Kak Deo pasti sudah sampe di rumah sekarang." Guman Dara. Saat itu, ia tak lagi melihat ada murid lain di sekitar lingkungan sekolah. Mereka ada yang membawa kendaraan pribadi, naik bus, angkot, dan jalan kaki.
Dara melamun. Menatap jalan yang basah oleh hujan.

"Melamun aja? Hati-hati, nanti kesambet petir kamu nggak tau." Seorang pria membuyarkan lamunan Dara. Suara yang ia kenal. Ia menoleh ke asal suara itu. Deo Anando berdiri satu meter di samping kirinya.

"D.. d.. Deo?" Dara ragu, memanggil hanya sebutan nama atau menggunakan yang lebih sopan, 'kak'.

"Hanya tinggal kita berdua murid SMA Dwiwarya disini. Kamu nggak dijemput Mang... mang.." Deo mengingat nama supir pribadi keluarga Dara.

"Mang Saib." Dara tersenyum.

"Haa.. iya.. Mang Saib. Kemana dia?" Deo menyapu pandangan di sekitarnya.

"Biasanya, Mang Saib jam segini jagain toko saudaranya. Menambah penghasilan." Dara tak tau. Mengapa ia membicarakan urusan pribadinya dengan orang yang baru dikenalnya

"Oo..." Deo manggut-manggut. Duduk di kursi halte.

"Kak Deo... eh.. maaf Deo.. nggak pulang?" Dara tak tau, kenapa ia begitu mudah berbicara dengan Deo.

"Kamu ingat, kan..." Deo tersenyum. Senyuman Deo membuat Dara mematung. Senyuman yang indah. Tiba-tiba ia grogi berhadapan dengan Deo.

"I.. i.. ingat apa?" Dara memainkan genangan air di bawah kakinya.
.
Bersambung.
Terimakasih sudah membaca. follow, vote, dan comentnya selalu ditunggu 😀

Stories with Rain [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang