[3] Semua Bisa Asalkan Usaha

187 24 5
                                    

Di luar, hujan masih lebat. Deo memasuki kelas. Dia sedikit basah. Ia Memilih duduk di pojok kelas. Disamping kanan dan di belakang sahabatnya, Fadel dan Rian.

"Wuih... si Deo... tumben amat duduk di pojok belakang. Padahal, ada tuh yang kosong di depan." Fadel menggeser kursinya ke arah Deo.

"Ih, apaan sih. Sana! Sana! Nanti, saat pak Bambang masuk, dan lo belum duduk cantik, lo bisa dihukum berdiri di depan, bro." Deo menggeser kursi yang diduduki Fadel menggunakan telapak kakinya.

"Santai bro, santai... Pak Bambang kagak masuk hari ini. Dia lagi menghadiri wisuda anaknya."

Rian memutar kursi ke belakang. Menghadap Deo. Mengikuti topik pembicaraan.

"Bro, lo itu kan pintar nih. Pak Bambang ngasih tugas ke kita. Harus dikumpulin hari ini juga. Tapi, gue lapar..." Fadel menggeser kursinya ke arah Deo kembali. Mengusap perutnya yang keroncongan.

"Lalu?" tanya Deo datar. Tanpa basa-basi. Ia mengeluarkan buku pelajaran yang lembab dari dalam tas ke atas meja.

"Gue mau ke kantin. Mau makan..." jawab Fadel. Mengangkat alisnya.

"Tadi lo bilang ada tugas dari Pak Bambang. Ngapain lo ke kantin?" Deo mengintrogasi Fadel.

"Kangen dia kali sama Mbok Rah, si ibu kantin. Hahaha.." Rian tertawa, membuat Fadel jengkel.

"Apaan sih." Fadel mendorong bahu Rian

"Del, tatap mata gue." Deo menatap Fadel lamat-lamat.
Brak
"Mampus, lo del." Rian memukul meja Deo.

"Ih, apaan sih." Fadel menatap Rian sinis.

"Fadel, lo mau lulus SMA kan?" Deo menatap Fadel serius. Fadel mengangguk.

"Ingin nilai lo bagus semua?" Fadel mengangguk lagi, kali ini disertai senyuman antusias.

"Lo ingin diterima di ITB, kan?" Deo kembali bertanya. Kali ini, Rian ikut mengangguk serius. Karena Rian memang sangat ingin diterima di sana. Sedangkan Fadel, mengangguk lemah. Senyumnya menghilang. Ia berkata pelan. "Gue nggak yakin bisa kuliah di tempat itu, Yo." Fadel menunduk.

"Kenapa? Tatap gue! Kali ini gue seius!" Deo mengangkat Dagu Fadel.

"Lo tau sendiri gimana otak gue." Fadel berintonasi rendah.

"Jadi, lo ingin ngubur mimpi indah lo itu? Lo tidak ingin bisa diterima di universitas itu?" kali ini, Deo tampak lebih serius. Fadel mengangguk.

Rian menatap Deo takjub. "Lo memang pandai memotovasi manusia, Yo. Gue salut sama lo." ujarnya dalam hati. .

"Disana hanya untuk orang-orang pintar, Deo.. Lha, sedangkan gue?" Fadel kembali menunduk lesu. Berujar lemah.

"Del, lo pasti bisa! Asalkan lo mau berusaha. Lo tau? Banyak orang mengatakan bahwa tidak semua orang terlahir pintar. Mereka pintar asalkan berusaha. Ada juga yang mengatakan, bahwa seseorang memang pintar bawaan dari lahir. Gue fivety-fivety aja soal itu. Karna gue nggak tau pasti mana yang benar. Tapi, kunci utama gue, gue giat. Gue terus berusaha." Deo mengepalkan tangannya. Menatal Fadel serius. Membuat semangat Fadel membara. Fadel bangkit dari duduknya. Berlari keluar dari kelas.

"Mau kemana, Del? Jangan nangis dulu..." Rian menyoraki Fadel. Seisi kelas menatap Fadel terheran.

"Kantin... jangan ikut!" Jawab Fadel singkat tanpa menghentikan langkahnya.

"Kenapa tuh anak? Kali ini lo gagal memotivasi dia, Yo. Dasar Fadel," Rian menatap Deo. "Yo, lo betul juga. Gue juga akan berusaha. Gue ingin diterima di sana! ITB... Adrian Gunawan akan belajar disana," Rian mengepalkan tangannya. "Makasih, Yo. Walaupun Fadel tadi kayaknya bodo amat sama nasihat lo tadi, tapi setidaknya berhasil untuk gue." dia menepuk pundak Deo. Tertawa kecil.

"Sama-Sama," Deo tersenyum. "Eh, menurut lo, Fadel kok kali ini nggak mempan, ya sama nasihat gue?" Deo memasukkan bukunya yang lembab ke dalam laci meja.

"Kagak tau. Mungkin dia nggak tahan nahan laparnya. Atau mungkin juga kangen sama si Mbok Rah." Rian bersungut-sungut. Menatap buku lembab Deo di atas meja yang telah dikeluarkannya dari dalam tas . Bersiap akan dimasukkan ke dalam laci.

Kemudian, Deo teringat Dara. "Dara kelas sepuluh berapa, ya?" Deo berguman pelan.

"Apa? Dara? Siapa itu Dara? Gebetan lo, ya? Wah.. ternyata Deo Anando yang selalu menang olimpiade kimia punya gebetan juga, akhirnya," Rian tertawa. "Eh, nanti minta PJ, ya.." lanjutnya.

"Ah... bukan apa-apa. Lo salah dengar. Bukan Dara. Tapi Naya. Sepupu gue. Btw, udah tau dia, kan?" Deo berbohong, ia menepuk bahu Rian pelan.

"Yakin?"

"Iya..."

"Masa?"

"Masa gue bohong.." mata Deo melirik ke kiri. Menandakan ia sedang berbohong.

"Gue yakin lo bohong," Rian mengusap dagunya. Menatap Deo serius. "Mata lo melirik ke kiri." Lanjutnya.

"Serah lo deh."

"Iya deh. Jangan marah gitu, dong..."

Deo menggeleng pelan. Menatap Rian. "Yan, lo tau dimana anak Pak Bambang kuliah?" Deo menatap kaca jendela yang tampias oleh air hujan. Hujan makin lebat.

"Kabar-kabarnya sih, anaknya kuliah di ITB. Jurusan astronomi. Memangnya kenapa?" Rian juga menatap jendela.

"Hebat, ya Pak Bambang." Deo menatap jendela. Menoleh sekilas ke arah Rian. Kemudian kembali menatap jendela.

"Maksud lo, pak Bambang hebat, dan kehebatannya nurun ke anaknya?"

"Ih... maksud gue, beliau itu orang yang disiplin. Hebat bukan hanya pada otak, kan... disiplin juga hebat. Seperti pak Bambang. Beliau orang yang disiplin. Contohnya, kalau kita telat masuk kelas satu menit bakalan disuruh berdiri di depan kelas. Kemudian, menjawab pertanyaannya seputar pelajaran. Kalau tak bisa jawab, tetap berdiri di depan sampai jamnya habis. Ngerti, kan maksud gue?" kali ini, Deo menatap Rian.

"Oo.. jadi, maksud lo, selain rajin belajar, kita juga harus disiplin dalam belajar, ya?" Rian nyegir. Menggaruk hidung yang tidak gatal. Deo tersenyum. Kemudian, bangkit dari duduk.

"Mau kemana?" Rian juga ikut berdiri.

"Mau ambil buku tugas di kantor. Lihat, tuh.." Deo menatap seisi kelas. Membuat Rian melakukan hal yang sama. Menyapu pandangannya kepada semua murid di kelas 12 MIPA 2.

"Maksud lo?"

"Orang pada sibuk. Bukan sibuk belajar. Maksud gue, mereka sibuk main ludo, dengerin musik, yang cewek-cewek pada ngegosip." Deo menatap perempuan di kelasnya yang sedang bergosip.

"Lalu?" Rian juga menatap mereka.

"Gue mau ambil buku tugas. Mengerjakan tugas itu sekarang."

"Aduh... nanti aja..." Rian kembali duduk. "Main ludo dulu..." Rian mengeluarkan ponselnya dari dalam tas.

"Selain rajin belajar, kita juga harus disiplin dalam belajar. Lo sendiri yang bilang tadi, kan?" Deo berlalu. Pergi meninggalkan Rian yang telah bersiap menbuka aplikasi 'Ludo King'. "Yo! Tunggu gue..." Dia mematikan hp nya, memasukkan ke dalam saku celana.

Rian berlari mengejar Deo yang sudah meninggalkan kelas. Menuju ruang guru. Sebelum mereka sampai di ruang guru, langkah mereka terhenti. Mereka tak percaya apa yang mereka lihat barusan.

"Yo, itu Fadel, kan? Apa yang terjadi padanya?" Rian mematung. Menatap Fadel dengan tatapan kosong. "Tu anak cari masalah aja."

"Dara?" Deo berlari ke arah yang dilihat Rian. Sesuatu terjadi disana.
.
Bersambung
😊 terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca cerita ku..
Jangan lupa untuk Follow dan vote aku, ya..

Stories with Rain [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang