Bagian 8 | Dulu, Di TK

80 8 0
                                    

Mari kita kembali ke Garut, di tahun ke 4 aku hidup di dunia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mari kita kembali ke Garut, di tahun ke 4 aku hidup di dunia. Tepatnya 12 tahun yang lalu. Di sebuah taman kanak-kanak, akan aku ceritakan kenangan masa kecil yang indah sebelum adanya perasaan suka dan ikatan persahabatan ini.

Masa-masa yang sangat awal sekali.

"Kamu bisa panggil aku Dillah," kata seorang anak laki-laki dengan senyum yang manis, lengkap dengan cara dia menunjukkan gigi yang masih hitam dan ompongnya itu padaku.

Saat itu aku sedang memeluk lutut di ujung luar bangunan kelas. Dalam kondisi sedikit tenang meski tekanan dada yang aku rasakan sesak pasca berhenti menangis.

Aku masih ingat, dulu sulit sekali mendapatkan teman yang bisa diajak bermain. Hanya ibu guru TK yang sudah kulupakan namanya, yang kadang suka kesal karena aku sering mengikutinya kemana pun dia pergi.

Dan aku ingat, hari dimana Dillah menyapaku adalah saat aku diberitahu dan dinasihati sang ibu guru untuk bermain dengan teman-teman yang lain.

Tapi aku malah menangis, dan semakin menjadi-jadi ketika diganggu  oleh seorang anak laki-laki yang bandel.

"Cengeng!" cibirnya. Dia menatapku lekat-lekat kemudian mendorongku hingga jatuh tersungkur.

Kemudian dia pergi sambil berteriak, "AYE AYE AYE AYE!!!" Sebuah cuplikan lagu yang saat itu sedang populer.

Tangisanku sulit diredakan, bahkan ibu guruku pun aku marahi. Aku beranggapan kalau ibu guru tidak mau mengurus, menemani, atau bermain denganku lagi.

Ibuku bahkan sampai dipanggil ke sekolah. Saat diajak ke ruang guru bersama Ibuku, aku menolak. Karena malas bertemu sang Ibu guru. Disebabkan rasa marah dan kecewa tersebut. Aku sama sekali tidak mau beranjak dari tempat yang ku pilih untuk menangis.

Sebuah tempat bersejarah, dimana aku juga mulai bermain dan menemukan teman baru.

***

Aku mengangguk dalam diam, kemudian menatap anak laki-laki tampan yang ada di depanku.

Dillah yang waktu itu masih kecil masih tetap tersenyum dan menatapku yang sedang mengalami sisa-sisa proses sesegukkan.

"A... a, aku Nanan," ujarku pelan.

Dia tertawa, dan aku bingung. Apa yang salah?

"Namamu kayak nama hal yang sering dilakukan dan diminta Haikal ke mamanya sampe sekarang!" katanya tak ku mengerti.

"Haikal? Siapa?" aku bingung karena waktu itu aku benar-benar lugu dan sedikit lemot.

Kamu tahu gitu maksud dari obrolannya Dillah?

"Anak yang buat kamu nangis tadi," jawabnya dengan mengarahkan penglihatannya kepada anak laki-laki yang ia sebut Haikal.

Aku mengikuti arah pandangnya ke taman bermain. Ada anak laki-laki paling mencolok di sana. Di lubang hidungnya ada ingus yang sekali ditarik agar lendir itu kembali masuk.

Bocah itu yang dimaksud Dillah kecil bernama Haikal, yang telah membuat tangisku semakin keras tadi. Dia sedang berdiri sok-sok-an sembari menggoyangkan pinggul dan berjoget tanpa tahu malu di atas puncak permainan gegelantungan.

"AYE AYE AYE AYE!!!" teriak anak itu girang.

"DU DDU DU DDU!!!" lanjutnya sambil bergaya layaknya sedang menembak menggunakan kedua tangan. Anak-anak lain, yang menggerombol bermain bersamanya ikut-ikutan men-du ddu du ddu.

Tapi tiba-tiba saja aku tertawa dengan sebelumnya saling pandang dengan Dillah.

Haikal menjerit kesakitan. Ia terjatuh dari atas gelantungan tempatnya berdiri. Haikal yang sejak dulu cileung, berteriak tidak karuan hingga wajahnya memerah. Sedangkan teman-temannya yang lain hanya menertawakan bocah itu.

"Haikal?!" teriak seorang ibu-ibu yang tadinya berada di luar area taman bermain. Dia berlari masuk dengan ekspresi terkejut dan menerobos kerumunan bocah untuk menghampiri Haikal.

Aku masih ingat ibu-ibu itu berkata, "kata Mamah juga apa? Jangan nakal!"

"Itu Tante Rena," tunjuk Dillah pada Ibu-ibu itu. "Istrinya Mang Morgane, adiknya ibuku."

"Oh," responku. "Tapi namaku juga Rena," kataku kemudian.

"Serius, Rena?"

Aku mengangguk kemudian Dillah tertawa lagi.

"Berarti kamu Tanteku," katanya.

"Kenapa aku jadi tantemu?"

"Karena namamu mirip dengan nama Tante Rena."

"Aku gak ngerti!"

"Akrablah dengan si Haikal, nanti kamu bakal ngerti."

"Maksudmu aku ibunya Haikal?"

Dillah tertawa lagi lalu menggeleng.

***

Sejak saat itu, aku mengenal Haikal dan Dillah. Dua anak yang merupakan saudara sepupu yang begitu menyenangkan ketika aku bersama mereka.

Sebenarnya, mengenal Dillah aku masih merasa bingung. Penasaran dengan pembicaraan pertama kami yang tidak jelas. Aku pikir dia aneh, karena Haikal dulu sering meledeknya juga.

Tapi meski sering meledek, Haikal selalu menjaga Dillah kalau anak itu diejek atau dihina oleh teman-temannya yang lain.

Haikal dulu sering manggil aku 'mamah' dan Dillah memanggilku 'tante' sebagai ibu tiri yang tak sudi menganggapnya anak, kalau kita sedang main rumah-rumahan. Jadi aku menganggap itu adalah alasan obrolan pertama antara aku dan Dillah. Tapi, entahlah. Dia itu memang aneh.

Dan lagi, kenapa terus bicarain si Dillah, sih?

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 04, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

From the Feeling AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang