Orang itu...

60 8 2
                                    

   Nampak jelas pada sebuah rumah di bibir Jl. Gatot Subroto, rumah yang sudah reyot seperti mau tumpah. Tembok yang sudah nampak banyak keropos tersapu waktu. Berjuntai-juntai. Pohon pepaya yang bergandengan dengan rumah tersebut pun tampak mengenaskan. Batangnya yang sudah beraberasi, terkulai lemah menjurus ke bawah. Daunnya yang terkapar layu, berjuntai-juntai pula sudah tidak kelihatan hijaunya. Layu.

  Dari teras rumah terlihat seorang tua yang sedang duduk. Berpakaian kaos Pilkada, hasil pemberian dari kampanye kala itu. Sebenarnya tulisan di punggungnya dianjurkan agar menyoblos nomor 2. Namun mungkin karena bapak yang satu ini sudah renta, entah ia lupa atau kalap, bahkan derak-derak dari tulang-tulangnya terdengar cukup lantang kala ia meregangkan badan, bapak ini justru menyoblos nomor 3. Namun, kaos "pemberian" sudah ditangan, tak dapat ditarik kembali. Ada kemudian seorang yang menunggangi sepeda ontel tahun 90-an, dengan rangkaian sepeda yang sudah reyot. Ia menggiring sepeda dengan semangat sembari menyapa bapak yang duduk di teras depan rumah yang mengenaskan tadi.

"Assalamualaikum pak Haji!." Dengan sebegitu semangatnya sambil mengangkat tangan kanan, hampir hampir ia menerobos selokan yang berada di  samping kanannya lantaran semangatnya. Namun ia sigap. Karena telah terbiasa.

"Wa alaikumussalam pak Imaaan...!"

  Orang yang duduk tadi adalah bapaknya Yusuf. Yusuf dan keluarganya bukanlah orang berpunya.

   "Miskin adalah nasib, sedangkan sederhana adalah prinsip." Tukas ayah Yusuf. Karena memang kebahagiaan tidak bisa diukur dengan banyaknya harta kepunyaan, melainkan dengan banyaknya manfaat dari hartanya itu. Itulah pelajaran kedua.

  Menghabiskan sebagian waktunya sebagai tukang kayu di perusahaan kayu Salayu milik bapak Iman, orang yang hampir celaka tadi. Cita-cita ayah Yusuf ketika masih duduk di bangku sekolah dasar adalah menjadi abiturien agar bisa bekerja lebih mapan. Namun apalah daya tangan tak sampai, malah terhenti sekolah ketika hendak masuk Smp lantaran keringnya biaya. Sehari-hari kerjanya hanya menggerus kayu-kayu saja. Namun, ia tidak peduli apapun dan bagaimanapun bentuk pekerjaannya. Ia hanya mematok dua buah persyaratan mutlak dalam mencari penghidupan ; Halal dan Baik.

  Saban pagi, Yusuf diantar oleh bapaknya menggunakan sepeda ontel keluaran 90-an, hampir mirip dengan yang ditunggangi pak Iman. Hanya saja yang satu ini sudah sedikit dirombak pada bagian stang dan pada buritan sepeda. Pada bagian stang sudah dirombak dengan menambahkan satu lagi bel di sebelah kanannya. Pada bagian buritan sepeda, ada stiker bertuliskan "Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai". Mungkin karena Yusuf adalah seorang yang senang berpikir. Ia banyak membaca buku-buku bertemakan Filsafat, di samping ia pun gemar berhitung.

"Karena hidup ini penuh dengan perhitungan, kawan." gayanya yang selalu mengangkat alis sebelah kirinya kala bercakap seperti itu.

  Pada saat itu, pemandangan seperti itu adalah sebuah keharmonisan rumah tangga yang terpancar. Berbeda dengan zaman sekarang ini, yang apabila diantar seperti itu, malah tumbuh gulma di dalam pikirannya. Gantang.

   Bagi Yusuf, bapaknya adalah Louie Zamperini yang rela hidup belingsatan demi memakmurkan keluarganya. Kau tahu kan, kawan? Louie Zamperini. Kini kisahnya telah dimuat menjadi sebuah film. Oleh karena itu, Yusuf setelah mendengar tuangan kata-kata Lana kala itu di kelas mempunyai cita-cita yang sama ; ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Dan cara yang ia pilih adalah ingin menjadi seorang pemimpin ormas islam.

 
  Karena terdorong dengan cita-cita yang sama, Abdurrahman, Yusuf, dan Lana sering kali bertemu, berkumpul, saling berbagi cerita bertukar pikiran. Meskipun masih usia remaja yang menurut persepsi sebagian orang adalah masa untuk bersenang-senang, namun bagi mereka tidak. Justru pada masa keemasan itulah seharusnya setiap pemuda maupun pemudi menunjukkan semburat semangat dan tujuan hidupnya. Berusaha semaksimal mungkin dengan menaruh hasil akhir pada keputusan Yang Maha Kuasa.

"Tugas kita bukan menang, kawan. Kita hanya diperintah untuk berusaha." Lagi-lagi dengan menaikkan alisnya yang sebelah kiri. Yusuf dengan yakinnya melontarkan kata seperti itu. Bolehkah itu dijadikan pelajaran ketiga?. Orang itu, Yusuf, telah meyakinkan kawan-kawannya untuk tetap tegak menjalani hidup, sekalipun harus mengejan di dalamnya. Dahsyat.

Orang AsingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang