Surat itu dikajinya dengan begitu teliti dan cermat. Fokus bola matanya tidak meninggalkan jejak sehuruf pun untuk ditinggalkan. Koefisien dari tulisan tersebut pun ia deteksi dengan penuh decak kagum. Ia terkesima akan racikan tulisan yang mengagumkan dari mantan istrinya itu. Mantan istrinya betul-betul memiliki potensi yang dahsyat untuk menjadi seorang novelis handal. Pak Adi, meskipun sudah selesai membaca tulisan yang terpajang di sepucuk kertas yang tadinya dibungkus amplop berwarna putih dengan garis potong-potong di atasnya tersebut, tidak pernah bosan untuk membaca dari awal kembali, dan mengidentifikasi dengan cermat dan penuh penghayatan. Karena, setelah sekian lama tak jumpa kabar dari mantan istrinya itu, namun tiba-tiba, setelah mengajar Ilmu Bumi di kelas itu, tergeletak sepucuk surat untuk Pak Adi. Betapa termangunya. Pak Adi rindu. Perasaannya diselimuti kabut perasaan rindu yang amat kelam, namun nikmat. Ia rindu akan ekspresi marah mantan istrinya ketika ia pulang ke rumah terlalu malam akibat main catur, dan membawa kabar buruk ; tak pernah menang. Sudah jatuh tertimpa tangga. Namun, itu semua kini hanya berupa kenangan-kenangan indah yang masih tertata rapi dalam sanubari Pak Adi. Kendatipun demikian, Pak Adi selalu mengharapkan agar Yang Maha Menyatukan kembali mempertemukan dua makhluk yang berbeda jenis itu dalam rumbia yang sama, mendayung bahtera rumah tangga mengelilingi dahsyat dan ganasnya samudera kehidupan ini bersama-sama sahabat sehidup semati, kemudian berlabuh di hadapan Tuhannya dalam keadaan yang baik.
"Duhai Allah... Aku tidak akan pernah berputus asa akan rahmat-Mu seperti halnya sifat yang dimiliki oleh salah satu pembawa risalah-Mu, Zakaria." Ia bergumam dalam hati.
~°~
Abdurrahman baru saja pulang dari kebun singkong milik tetangganya, Pak Amir. Dengan sobat karibnya, Yusuf, mereka berdua sedang menempati dunia persingkongan itu. Pada mulanya, Pak Amir lah yang ingin pergi ke kebun di pagi hari yang hangat menyelimuti Majenang kala itu. Namun ternyata, bibi Pak Amir mengalami sebuah kecelakaan. Ketika bibi Pak Amir itu sedang berjalan ria di samping jalan, tiba-tiba ia tersontak karena mendengar salak anjing yang menggelegar di dalam hutan, kemudian ia terhentak ke tengah jalan yang kosong, namun ada sebuah sepeda yang dikendarai oleh seorang tua dengan kecepatan yang melejit cepat, sekitar 25 Km/Jam. Tertabraklah ia dan dibawa ke Klinik Diponegoro, Majenang. Pak Amir yang mendapat perihal itu, dilema. Namun ia memilih yang prioritas dalam pilihannya. Langsung tancap gas dengan sepeda MRX 2100 hasil pemberian dari Ketua Dusun setempat karena Pak Amir berhasil menangkap maling sendirian.
Sebelum pergi, ia meminta kepada Abdurrahman agar mengurus kebun singkongnya pada pagi hari itu.
"Man, sebentar ya ... Aku mau pergi ke Klinik dulu, jenguk bibiku, itu lho.. kecelakaan ditubruk ku sapeda. Jadi, saya minta kamu, urus kebun itu dulu yah... Sebentar." Tekaknya kembang-kempis.
"Oh, iya... Insya Allah Pak." Abdurrahman menaruh hormat, menyergapi mandat itu dengan semangat '45 yang menggebu-gebu.
"Bapak pergi dulu ya, awas lho, aku titip sebentaaar aja... ya? Assalamualaikum." Sembari mengayuh sepedanya dengan lembut, kemudian dilanjut dengan kayuhan yang bertalu-bertalu. Dengan berbajukan kemeja berwarna ungu gradasi yang berpadu dengan warna hitam, Pak Amir nampak gagah macam pembalap sepeda handal yang gagal ketika Turnamen Balap Antar Kampung itu.
"Ya Pak... Wa alaikumussalam." Sepeda Pak Amir berdesing bak peluru yang melesat dengan dahsyat nun cepat.
Setelah beberapa saat berlalu, tanah pun dihantam bertubi-tubi oleh batalion butiran air yang lembut nun menakutkan itu, karena kekompakkan dan jumlahnya yang tak bisa ditandingi. Kalahlah tanah itu, menjadi tak beraturan dan encer, sudah tidak gagah perkasa lagi. Tanah menjadi kaolin. Kecipak air yang melanda Majenang kala itu terdengar melodis dan menegangkan ketika mulai menghantam kusen-kusen rumah warga dengan begitu dahsyat dan ofensifnya. Dalam pada itu, ada seorang yang sedang ingin menjenguk bibinya yang tengah tertimpa musibah ; tertabrak sepeda berkecepatan cukup tinggi, ikut menjadi korban dari keganasan air hujan yang tak kenal adat dan adab itu. Pak Amir sudah berada sekitar 60 % dari keseluruhan perjalanan bersepedanya menuju Klinik. Tidak ingin mengurungkan niat dan tekadnya, ia terus menerobos serangan hujan yang makin mendahsyat itu tanpa kenal takut. Ia menepis segala aral. Ia makin bergerak macam kelebat cahaya, meskipun terseok-seok ketika mengayuh pedal sepeda MRX 2100nya itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/111906800-288-k239080.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Orang Asing
Historia CortaTak 'kan lah berada di dunia ini selamanya. Pasti ada episode di mana ada pertemuan, dan gerbang terakhir yang akan menunggunya adalah perpisahan. Dan pada sesi yang ini, akan banyak orang yang tidak suka dan tidak mengharapkan yang namanya Perpisah...