Setelah iqrar -setara dengan upacara- senin pagi, Bu Ani menggiring anak-anaknya yang telah berpenuhkan keringat pagi nun sehat ke dalam kelas untuk ditunjukki sebuah pengarahan. Beberapa dari mereka jalan nampak tergopoh-gopoh karena cangkel mendengarkan penyampaian pidato iqrar senin pagi yang disampaikan oleh Bu Juju itu, kata mereka "Duh, yang kuaatt... yang kuaatt..", karena terlalu seringnya dalam penyajian intonasinya, bergaya terlalu monoton. Lana bahkan terkantuk dalam keadaan masih berdiri tegak, namun kepalanya condong ke bawah dengan mata yang sayu dan terus mengeluarkan jurus Black Holenya. Namun ia tutup dengan tangan kanannya kala Black Hole itu mulai mengisap material di sekelilingnya dengan kuat. Menganggut-anggut kepalanya, bahkan beberapa kali sampai ingin oleng ke depan. Dia sudah terbiasa dengan kebiasaannya.
Kenapa para murid merasakan cangkel ketika menyaksikan seorang Bu Juju yang menyampaikan materi? Abdurrahmahman berkata, karena beliau amat memfokuskan penglihatannya kepada teks yang dibacanya, kita jadi merasa tidak diperhatikan dan diacuhkan. Tak peduli. Walaupun pasti, sebenarnya beliau tidak berkeinginan seperti hal tersebut. "Man, kenapa kamu masih terlihat bugar di saat yang lain terkapar?" Ipul bertanya dengan raut wajah yang menginginkan jawaban hebat dari sang Abdurrahman yang terkenal bijak itu.
"Kau mau tahu, apa ajiku?"
"Dengan senang hati dan lapang dada, aku akan mendekatkan pendengaranku kepada apa yang akan kamu ucapkan dari lisanmu yang basah itu. Beritahu aku Man!"
"Tapi aku sedikit khawatir, kau akan membeberkan sebuah aji yang sebentar lagi akan kuberitahu kepadamu ini. Karena aku tidak berkeinginan, orang lain meskipun itu terdiri dari teman-temanku, mengetahuinya. Jadi, maukah kau untuk bersedia supaya tidak memberitahu hal ini kepada siapapun tanpa seizinku?" sembari menunjuk Ipul dengan rona wajah yang cukup serius, setidaknya di mata Ipul."Sebagai jaminannya, jikalau seandainya hal yang kau takutkan akan terjadi itu benar-benar terjadi, biarkan aku menerima hukuman apapun yang pantas untuk diberikan kepadaku olehmu. Dan, aku berjanji." Tangan kanannya mengangkat sampai sebahu, tangan kirinya menyentuh dada. Ipul seperti dibai'at oleh Abdurrahman. Keadaan terasa sedikit menegangkan dan agak aneh.
"Kau sudah berjanji. Baiklah, begini... Ketika aku mendengar bahwa jikalau Bu Juju yang hendak berorasi, aku akan melakukan persiapan maksimal sehari sebelum peristiwa." Ipul menyimak dengan hangat.
"Kau mungkin sudah mengetahui namun kau tidak sadar, bahwa aji ini adalah mudah untuk dilakukan." Ipul makin terperangah, mempertemukan kedua alisnya.
"Aku telah terbiasa melakukan hal ini. Dan mungkin bagimu, akan memakan waktu untuk berproses agar bisa menjadi sepertiku. Pul, yang aku lakukan adalah..."
"Apa?!"
"Aku memakan lepeut yang aku masukkan ke dalamnya cabai hijau kecil. Sebagai minumannya, aku meminum air hangat segelas. Dan ketika setiba di sekolah, jangan dulu ke toilet, tahan. Nanti, ketika iqrar sudah di pertengahan jalan kau angkat tangan, tanpa komando, langsung ke toilet. Kemudian, kembali dalam keadaan segar."
"Ouuhh..." Ipul bergaya macam memahami dan menghayati.
"Baik, akan kuaplikasikan dengan sabar." sembari mengacungkan jempol kirinya.
Negosiasi antar keduanya pun rampung dengan pihak Ipul menerima wejangan dari Abdurrahman. Mereka berdua berjalan beriringan sembari diarahkan oleh Bu Ani menuju kelas. Sebuah nasihat yang berharga bagi Ipul dan kabarnya, akan diberitahukan juga kepada Lana yang terkantuk-kantuk tadi.
Bu Ani mempersilahkan para muridnya untuk menduduki kursi masing-masing, setelah sebelumnya menaruh sepatu di depan kelas, di rak sepatu yang terbuat dari kayu hasil karya anak-anak ini. Kayu yang diambil dari dekat rumah Munif. Karena Munif ayahnya adalah seorang penggerus kayu dan sudah malang melintang di lingkup penggerusan kayu. Dan arsitek pembuatan rak sepatu itu sendiri adalah Munif, anak tukang kayu yang inovatif dan kreatif.
"Baiklah, Yusuf pimpin doa kawan-kawanmu di depan." Pinta Bu Ani.
Yusuf berjalan dengan penuh wibawa, sebagai seorang bendahara kelas yang bertugas mengurus kekayaan kelas.
"Istaidduu... Du'aan"
"Bismillahirrohmanirrohim, Allahumma inna nasaluka ilman nafi'a wa rizqan thayyiba wa 'amalan mutaqobbala" Seisi kelas disesaki oleh gema doa mereka. Kacapun bergetar.
"Salaaman..."
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuuuh..." dan kemudian Yusuf kembali ke tempat duduknya.
"Sekarang, ibu akan mengatur posisi duduk kalian, agar terlihat lebih serasi, indah, dan rapi." Bu Ani mengelompokkan mereka berdasarkan lawan sifat, kemiripan wajah, dan perbedaan bakat.
Abdurrahman diikatkan dengan Budi, rivalnya dalam bertarung dalam dunia pernilaian, terutama di matematika. Lana, didudukkan bersama dengan Ismail yang pendiam itu. Yusuf, dieratkan dengan Ipul yang ambisius. Farhan yang tambun, berdampingan dengan Farhan yang kurang daging. Sedangkan yang perempuannya, Hasya duduk dengan Aisyah. Nina kembali dengan Fisya. Aas berbarengan dengan Weni, dan keduanya pendiam. Dan Zakiya hidup bersebelahan dengan Winda, dan keduanya cerewet.
"Nah, kalian akan diposisikan seperti ini, sampai tahun ajaran ini selesai. Alhamdulillah"
Hingar-bingar perasaan Abdurrahman, karena tepat di belakangnya adalah yang waktu itu pernah membuat hatinya euforia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orang Asing
Short StoryTak 'kan lah berada di dunia ini selamanya. Pasti ada episode di mana ada pertemuan, dan gerbang terakhir yang akan menunggunya adalah perpisahan. Dan pada sesi yang ini, akan banyak orang yang tidak suka dan tidak mengharapkan yang namanya Perpisah...