Mimpi

97 11 4
                                    

  Jika boleh diumpakan kesulitan itu macam hujan yang turun menikam tanah tanpa ampun itu, dan solusi adalah sebagai matahari yang menyinari, maka butuh keduanya untuk menghasilkan sebuah refleksi dalam bentuk Pelangi.

  Abdurrahman pergi ke sekolah, menggendong tas berwarna hitam bernama Co-Trek made in China itu dengan nampak hingar bingar di rona wajahnya. Nampak dari jauh, macam pantulan kilauan cahaya. Kalau boleh dibilang, amatlah tinggi kharismanya. Karismatik. Mantap. Dan itu -katanya- adalah bukan dari balutan bahan-bahan kimia yang berbahaya, atau make up, tapi ia mengakui bahwa ketika ia hendak berangkat sekolah, maka wudhu lah yang ia lakukan. "Agar tetap suci" katanya jika ditanya. Pemuda yang sekarang duduk di bangku kelas 1 Smp Muhammadiyah 07 di daerah Majenang, Cilacap ini adalah seorang soleh. Namun menyenangkan.

  Sesampainya ia di sekolah dengan berjalan kaki, langsung disambut bak pejabat tengah menghadiri acara akbar peresmian dan pengangkatan jabatan disertai red carpet dan kilauan yang berasal dari kamera. Namun kali ini tidak. Berbeda. Abdurrahman disambut hangat oleh Yusuf, orang baik itu.

  "Assalamualaikum Man, wah makin tampan lah kau ni. Mengapa datang lebih pagi?. Maukah kau nanti selepas sekolah kita pergi lapang?" Yusuf langsung menembak. Abdurrahman menjawab salam dan mengangguk penuh anggun.

  Kemudian mereka menghadiri kelas pagi. Bu Ani, seorang wanita yang hebat. Sastrawati. Mengajarkan betapa penting, luasnya bahasa indonesia itu. Mengajar dengan penuh semangat, walau mungkin pening melihat wajah-wajah kusut murid-muridnya pertanda tak mafhum oleh apa yang disampaikan Bu Ani.

"Baiklah nak, sekarang ibu ingin meminta salah satu dari kalian maju ke depan menghadap kalian, guna bercerita akan cerita kehidupan singkatnya". Absolut. Titah sang Ratu telah dituangkan ke telinga anak-anaknya. Bu Ani melihat dengan senyuman. Murid-murid saling melihat. Siapakah yang akan maju. Dari ujung kelas ada yang mengangkat tangan, tanda ia siap.

"Saya bu. Daripada ra ana sing maju. Saya mau bercerita tentang kegiatan saya ketika liburan musim hujan kemarin." Dengan nada sedikit rada jengkel.

"Baik, kamu Lana silahkan maju ke depan." Senyum sumringah Bu Ani terpancar dari muara bibirnya. Diiringi tepuk tangan murid yang lain. Yusuf yang paling ramai, sampai-sampai bangkit dari tempat duduknya.

"Baiik.. Bismillah, Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakaaatuuh" .. Seisi kelas ramai dipenuhi dengan pekikan salam yang menggema, kelas sebelah sedikit tersontak.

"Nama saya, Maulana Al Qasshi. Tempat tinggal saya di ujung jalan sana. Jalan KH. Abdulhakim. Ayahku bekerja sebagai seorang pekerja di perkebunan karet. Waktu itu..." dan cerita Lana kian berlanjut. Ia bermimpi, sebenarnya bukan bermimpi. Ia bercita-cita untuk bisa membanggakan kedua orangtuanya, yang saban hari bekerja mencekut receh dari hasil berkebunnya. Sungguh mulia. Ibunya selalu mewasiatkan agar Lana, tak peduli apapun nanti profesinya ketika dewasa agar selalu berusaha menjemput rezeki dengan wasilah yang halal lagi baik. Lana menghargai betul wasiat ibunya.

"Oleh karena itu, aku ingin membanggakan kedua orang tuaku. Selagi mereka masih hidup di dunia nun fana ini, aku akan berbakti kepada mereka. Dan kelak, di akhirat nanti, aku akan memakaikan mahkota dan jubah kemuliaan kepada keduanya. Aku ingin menjadi seorang Hafizh Qur'an." Luar biasa. Melelehlah air mata Bu Ani ketika mendengar mimpi yang amat indah itu. Dilontarkan oleh seorang anak yang bapaknya bekerja di perkebunan. Sungguh mulia.

"Kelak, kau akan mencapai itu nak. Kau akan mencapai itu." Senyum bahagianya tersemburat dari wajahnya. Para murid di kelas itu , mendapatkan sebuah motivasi dari Lana. Pelajaran pertama : Impian membuat hidupmu penuh dengan perjuangan, makna dan pelajaran.

Orang AsingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang